Pengalaman “Belanja” yang Mengesankan

Seluruh Individu di penjuru pasar berusaha keras untuk mendapatkan masker untuk kawan-kawan di Hong Kong, dan membuka kesempatan bagi Tim DBS untuk terus melayani nasabah dengan percaya diri.

Sebagai kepala Group Procurement Services (GPS) DBS Hong Kong, Alison Leung dengan gamblang menggambarkan dirinya sebagai “ratu belanja” dari bank.

“Saya bertanggungjawab atas pembelian dari vendor pihak ketiga untuk segala kebutuhan operasional bank. Dari alat tulis kantor, sistem komputer canggih bernilai ratusan juta dolar, bahkan kertas toilet!” katanya sambil tertawa.

Dengan pengalaman selama 25 tahun di bidang pengadaan, amat jarang bagi veteran di industri ini terhalang dari belanja. Namun, Januari ini Alison untuk pertama kalinya menghadapi tantangan terberat dalam kariernya: Menyediakan masker medis untuk melindungi rekan-rekannya dari COVID-19.

“Dulu, saya selalu bisa menyelesaikan “misi” saya, asalkan didukung anggaran. Tetapi sekarang, uang saja tidak bisa menyelesaikan masalah,” seloroh Ibu Leung menjelaskan.

Berita tentang virus SARS misterius yang datang dari daratan Cina mulai terdengar sejak bulan Desember. Pada bulan Januari, Ibu Leung mulai beraksi dan mencari vendor masker medis yang akan melindungi rekan-rekannya di Hong Kong.

Masalahnya, sebagian besar produsen masker di Cina sudah tutup untuk persiapan Tahun Baru Cina. Pun sekian ribu helai masker yang berhasil didapatkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan aktifitas kerja 5.000 anggota staf DBS sehari-hari.

Mengantri Berjam-jam, Pulang dengan Tangan Kosong

Pada pertengahan Januari, ketika panik mulai memuncak, mendapatkan masker menjadi nyaris mustahil.

“Saya ingat jelas sebuah adegan yang terjadi di jalan. Meskipun cuaca sangat dingin dan berangin, orang-orang mengantri semalaman demi masker!” ucapnya sedih.

“Tapi mengantri semalaman juga tidak menjamin ketersediaan masker. Banyak orang menunggu berjam-jam hanya untuk diberitahu bahwa semua stok habis”, tambahnya.

Bank membutuhkan 5.000 masker per hari, atau 450.000 masker untuk jangka waktu tiga bulan. Alison segera menghubungi kantor di Singapura, India, dan Jakarta untuk meminta bantuan. Dia tahu bahwa jika ia gagal melindungi staf dengan masker penting, maka dampaknya akan berimbas merugikan operasi perbankan, yang pada akhirnya memengaruhi kapasitas bank untuk melayani kliennya selama masa krisis.

“Saya pikir tidak adil jika staf kami memertaruhkan nyawanya dengan datang bekerja tanpa disediakan masker. Adalah tanggung jawab majikan untuk melindungi pekerjanya,”
- Ms Alison Leung

Selang beberapa hari, departemen Teknologi dan Operasional kantor Jakarta berhasil menemukan pemasok yang mampu menyediakan 200.000 masker. Selain itu, kantor Singapura menemukan pabrik di India yang dapat menyediakan 200.000 lembar masker lagi.

Ketukan Harapan

Namun, badan-badan pemerintahan di seluruh dunia tengah menghadapi masa siaga tinggi karena wabah virus. Berbagai jenis peraturan baru diberlakukan, yang semuanya mempersempit gerakan Ibu Leung dalam usahanya untuk mendapatkan masker. Begitu kiriman masker dari Indonesia transit di Singapura, seluruhnya ditahan oleh bea cukai setempat demi menaati regulasi penyaringan yang semakin ketat.

Setelah mengabari CEO negaranya tentang kesulitan ini, Ibu Leung tidak lalu ongkang-ongkang menantikan resolusi. Pada hari Sabtu yang sama, beliau melewati waktu berjam-jam mengetuki lebih dari 20 pintu gudang di Kowloon, menerima stok apapun yang tersedia.

Pada akhirnya, Ibu Leung hanya berhasil menyediakan 55.000 lembar masker.

Untungnya, pengiriman masker akhirnya lolos melalui bea cukai Singapura dan melanjutkan perjalanannya ke Hong Kong.

Menjaga Kualitas

Lain halnya lagi di India. Kepala GPS Ninad Bhide juga bekerja keras demi rekan-rekannya di Hong Kong. Setelah penjual masker ditemukan, Ninad mengarungi perjalanan 100 kilometer dari kantornya di Mumbai Selatan untuk memeriksa pabrik di pinggiran utara kota.

“Saya belum pernah dengar tentang pabrikan ini sebelumnya. Karena itu, saya ingin melihat sendiri seperti apa pabrik itu dan apakah maskernya berkualitas cukup baik dan memiliki semua sertifikasi yang diperlukan,” kata Ninad.

“Selain memastikan bahwa vendor itu dapat diandalkan, saya juga perlu mengonfirmasi pesanan untuk kolega kami di Hong Kong. Itu adalah situasi di mana permintaan jauh melebihi pasokan. Pemasoknya sendiri kekurangan bahan baku dan dia terpaksa menerapkan biaya premium. Pada akhirnya, yang paling penting adalah kolega kami mendapatkan masker mereka.”

Pengiriman masker dari India berangkat ke Hong Kong setelah hanya lima hari. Jika bukan karena gerak cepat Ninad dan rekan-rekannya, barang-barang penting ini bakal macet - karena seminggu kemudian, pemerintah India melarang ekspor masker ke luar negeri.

Sekalinya Beruntung, Berbagi Untung

Dengan stok masker yang lebih dari cukup untuk melewati masa puncak pandemi, tim GPS di DBS Hong Kong bertekad membantu yang masih membutuhkan. Pada tanggal 5 Februari, 300 pasang kacamata pelindung dikirimkan ke staf kantor Shanghai.

Institutional Banking Group dari Bank DBS juga meminta bantuan Ibu Leung dalam pengadaan 40.000 masker untuk disumbangkan ke Fasilitas Umum melalui wirausaha sosial Hong Kong. Masker ini kemudian didistribusikan ke lebih dari 200 wirausaha sosial di seluruh kota.

Selama kesulitan mencari masker, Ibu Leung berkali-kali merasa terenyuh hatinya melihat aksi dari rekan-rekannya dari seluruh dunia.

“Ini benar-benar kolaborasi luar biasa antara semua orang dari berbagai departemen pengadaan di bank. Saya juga senang bahwa saya dapat membantu rekan-rekan saya [di Cina] melewati masa-masa sulit ini. Secara keseluruhan, ini adalah pengalaman yang sangat sulit, namun juga sangat berarti.”