Survei DBS: 7 prediksi tren konsumsi di tengah ancaman resesi 2023 | English

Indonesia.22 Dec 2022.3 min read

Tingkat inflasi yang tinggi mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia

Indonesia, 22 Dec 2022 - Tahun 2022 tinggal menghitung hari dan sebentar lagi kita akan menyambut 2023 yang diprediksi akan datang dengan beberapa tantangan termasuk resesi. Hal ini akan memengaruhi potensi ekonomi global termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, DBS Group Research mengamati perubahan perilaku belanja konsumen melalui riset bertajuk ‘Indonesia Consumption Basket’ kepada lebih dari 700 responden Indonesia dari berbagai kelas pemasukan[1] pada November 2022. Riset ini menitikberatkan tentang bagaimana inflasi dan ancaman resesi akan mengubah pola pengeluaran dan konsumsi mereka. Simak tujuh hasil riset tersebut di bawah ini!


1. Inflasi menjadi kekhawatiran terbesar saat ini dan konsumen menyadarinya

Berdasarkan atas hasil survei, sebagian besar masyarakat memandang pandemi hampir sepenuhnya berlalu dan inflasi menjadi tantangan selanjutnya dengan 98% responden yang merasakan tren kenaikan harga. 55% masyarakat memandang inflasi tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan konflik geopolitik Ukraina dan Rusia. Sementara itu, masyarakat mengemukakan beberapa alasan lain yang menyebabkan inflasi, yakni disrupsi rantai pasokan akibat COVID-19 (19% responden) dan kenaikan suku bunga The Fed (16% responden).

2. Kenaikan harga terlihat jelas pada kategori BBM dan bahan makanan

Pada bulan November 2022, tingkat inflasi mencapai 5,42% secara tahunan. Pada kenyataannya, DBS Group Research menemukan bahwa 54% responden merasa pengeluaran mereka melebihi statistik inflasi Indonesia, meningkat di atas 10% bahkan lebih. Konsumen memilih BBM dan bahan makanan sebagai dua hal dengan peningkatan paling signifikan terutama karena perannya sebagai kebutuhan sehari-hari.

3. Prediksi inflasi yang berkepanjangan dan indikasi perubahan pola konsumsi yang cepat

Konsumen memperkirakan kenaikan tingkat inflasi akan terjadi dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dengan persentase yang tinggi, yakni 89% responden melihat tren ini akan berlangsung selama enam bulan ke depan dan lebih jauh. Ini berarti konsumen mengantisipasi situasi inflasi yang tinggi akan bertahan hingga paruh pertama 2023 atau bahkan hingga tahun 2024.

Sejalan dengan hal tersebut, riset membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat akan mengubah pola konsumsinya relatif lebih cepat untuk beradaptasi dengan inflasi. 62% responden mengaku perilaku konsumsinya akan berubah dalam tiga hingga enam bulan ke depan karena mereka memperkirakan situasi inflasi yang berkepanjangan.

4. Kelas menengah ke bawah akan mengubah pola pengeluaran lebih cepat dibandingkan dengan kelas menengah dan kelas menengah ke atas

71% responden dari kelas menengah ke bawah berencana untuk menyesuaikan pengeluaran jika inflasi dan harga barang-barang tetap tinggi selama tiga hingga enam bulan ke depan. Cukup berbeda, 40% responden kelas menengah dan kelas menengah ke atas memilih untuk tidak langsung mengubah pola konsumsinya di tengah inflasi. Untuk kelas menengah ke atas, 56% responden akan menyesuaikan gaya hidupnya dalam kurun waktu tiga sampai enam bulan ke depan sedangkan 7% responden tidak akan mengubah pola konsumsinya sama sekali.

5. Konsumen – terutama kelas menengah dan menengah ke bawah – mengambil sikap defensif untuk menghadapi dampak inflasi dan kenaikan harga

“Menabung lebih banyak, mengeluarkan uang lebih sedikit” (save more, spend less) menjadi langkah yang diambil untuk menghadapi situasi. Hal ini disertai dengan pilihan mencari alternatif barang yang lebih murah atau meningkatkan pendapatan. Setengah dari responden akan mengambil langkah save more, spend less tersebut, sedangkan sisanya terpecah menjadi penggunaan barang yang lebih murah (19%), investasi untuk hasil yang lebih tinggi (20%), serta pencarian pendapatan yang lebih besar dan pemasukan tambahan (10%).

Selain itu, hampir setengah dari masyarakat kelas menengah ke atas mencari pendapatan lebih tinggi dalam merespon inflasi. Mereka berinvestasi untuk keuntungan lebih besar (30%), mencari pendapatan yang lebih tinggi dan pemasukan tambahan (15%), dan sisanya tidak akan melakukan apapun terlepas adanya inflasi (2%). DBS Group Research melihat konsumen kelas menengah ke atas memiliki disposable income yang lebih tinggi dan keleluasaan untuk berinvestasi sebagai jalan menghadapi inflasi sehingga mereka tidak perlu mengubah gaya hidupnya. Di sisi lain, masyarakat kelas menengah dan kelas menengah ke bawah memiliki disposable income terbatas sehingga perlu lebih banyak menabung dan menyesuaikan pengeluaran.

6. Pengeluaran harian menjadi prioritas dan pengeluaran diskresioner di urutan terbawah

Sebagai pengeluaran sehari-hari, BBM dan bahan makanan tetap menjadi prioritas konsumen di atas hal-hal lain terlepas keduanya mencatatkan peningkatan harga tertinggi. Hal ini diikuti dengan pengeluaran rumah tangga lainnya seperti sewa rumah, cicilan, serta produk perawatan rumah dan pribadi. Tren ini serupa di semua kelas dengan kelas menengah ke atas yang turut mengutamakan investasi dibanding kelas-kelas pemasukan lain. Untuk pengeluaran diskresioner (discretionary spending) seperti rekreasi, belanja, dan makan di luar menjadi prioritas terakhir. 

7. Konsumen cenderung memilih alternatif yang lebih murah untuk kebutuhan pokok sambil mengurangi pengeluaran non-pokok

DBS Group Research mendapati responden memiliki tendensi untuk menggunakan barang alternatif dengan harga yang lebih murah dibandingkan harus mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok (bahan makanan serta produk perawatan rumah dan pribadi). Hal ini juga berlaku untuk pengeluaran rumah tangga serta BBM atau biaya transportasi. Untuk kebutuhan non-pokok (makan di luar, rekreasi, dan pakaian), tidak masalah bagi konsumen mengurangi intensitasnya sehingga terlihat bahwa mereka memilih kualitas dibanding kuantitas.

Hasil yang cukup berbeda terjadi pada kelas menengah ke atas di mana mereka memilih untuk mengurangi frekuensi penggunaan kebutuhan pokok dibanding mencari alternatif yang lebih murah. Maka dari itu, DBS Group Research menyimpulkan masyarakat kelas tersebut telah memiliki standar kehidupannya sendiri dengan kualitas yang tidak dapat dikompromi.


Untuk membaca laporan keseluruhan dalam format PDF, klik di sini


Tentang DBS


DBS adalah grup jasa keuangan terkemuka di Asia, dengan kehadiran di 19 negara. Berkantor pusat dan terdaftar di Singapura. DBS berada dalam tiga sumbu pertumbuhan utama Asia: Tiongkok, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Peringkat kredit "AA-" dan "Aa1" DBS termasuk yang tertinggi di dunia.


Dikenal dengan kepemimpinan globalnya, DBS dinobatkan sebagai  “World’s Best Bank” oleh Global Finance, “World’s Best Bank” oleh Euromoney dan “Global Bank of the Year” by The Banker. DBS berada di garis terdepan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk membentuk masa depan perbankan, yang terpilih sebagai “World’s Best Digital Bank” oleh Euromoney dan “Most Innovative in Digital Banking” di dunia oleh The Banker. Selain itu, DBS mendapatkan penghargaan “Safest Bank in Asia“ dari Global Finance selama 14 tahun berturut-turut sejak 2009 hingga 2022.


DBS menyediakan berbagai layanan lengkap untuk nasabah, UKM, dan juga perbankan korporasi. Sebagai bank yang lahir dan dibesarkan di Asia, DBS memahami seluk-beluk berbisnis di pasar paling dinamis di kawasan itu. DBS bertekad membangun hubungan langgeng dengan nasabah serta menjadi bank dengan cara bank Asia. Melalui DBS Foundation, bank menciptakan dampak positif yang lebih dari sekadar perbankan melalui dukungan kepada wirausaha sosial: bisnis yang berfokus menyeimbangkan profit serta dampak sosial dan/atau lingkungan. DBS Foundation juga berkontribusi kepada masyarakat dalam berbagai hal, termasuk mempersiapkan masyarakat dengan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan dan membangun ketahanan pangan.


Dengan jaringan operasional ekstensif di Asia dan menitikberatkan pada keterlibatan dan pemberdayaan stafnya, DBS menyajikan peluang karir menarik. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi  www.dbs.com.



[1]  (i) 29% dari kelas menengah ke bawah dengan pemasukan Rp0-5.000.000, (ii) 52% dari kelas menengah dengan pemasukan Rp5.100.000-30.000.000, (iii) 14% dari kelas menengah ke atas dengan pemasukan Rp30.100.000-100.000.000, dan​​ (iv) 5% responden yang memilih untuk tidak menyatakan pemasukannya.