Tiket Anda
Not Interested

Fashion 'Cepat' Yang Perlahan Memusnahkan Planet

28 November 2019
#LiveKind

Sebagian dari kita mungkin membeli produk-produk fashion hanya karena diskonnya gila-gilaan. Kebanyakan dari kita mungkin memiliki tumpukan pakaian yang cuma nganggur di lemari berbulan-bulan. Kita mungkin lebih sering membeli barang berdasarkan harganya yang murah. Buat kita, kuantitas lebih penting dibanding kualitas. Familiar dengan situasi-situasi di atas? Bila ya, berarti kita memberikan kontribusi pada fenomena fast fashion.

Fenomena Fast Fashion

Dalam jurnal tentang dress, tubuh, dan kultur yang berdiri tahun 1997 dan dipublikasikan oleh Routledge (british multinational publisher), bernama ‘Fashion Theory’, istilah fast fashion mengacu pada koleksi busana murah yang meniru tren fashion dari brand-brand ternama ataupun busana rancangan fashion desainer yang diproduksi dalam waktu cepat.

Meski istilah ini baru-baru saja populer, tapi sebenarnya di tahun 80-an, jumlah fashion retailer sudah mulai bertambah dengan pesat. Laporan Greenpeace pada tahun 2016 menyebutkan, di tahun 2000, terjadi ledakan ekspansi di fast fashion yang diawali oleh merek H&M dan Zara yang mementingan kuantitas dalam memproduksi pakaian.

Dampak Mahal Dari Pakaian Murah

Fast fashion memang memberikan akses pakaian murah buat kita. Siapa yang enggak senang coba? Tapi, harga murah ini bukan berarti ramah lingkungan. Elizabeth Cline, penulis buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion yang berdomisili di New York, menyatakan bahwa pakaian-pakaian dengan harga terjangkau sering berakhir di tempat sampah.

Bukti lainnya datang dari data miliki United States Environmental Protection Agency, yang mengungkapkan kalau sekitar 15,1 juta ton sampah tekstil diproduksi pada tahun 2013. Laporan dari Trusted Clothes juga mengungkapkan, bahwa produk-produk fashion dengan harga murah kerap menggunakan bahan kimia dan pewarna berbahaya dalam memproduksi kain serta pakaian. Ditambah lagi, adanya penggunaan dan pencemaran air dalam skala besar.

Belum lagi penggunaan warna-warna cerah, cetakan dan finishing kain yang menggunakan bahan kimia beracun. Pencelupan tekstil itu pencemar air bersih terbesar kedua di dunia, setelah pertanian, lho. Kekeringan air juga bisa dialami di beberapa negara. Soalnya, pertumbuhan kapas untuk industri fesyen memerlukan volume air dan pestisida yang tinggi untuk mencegah gagal panen, sehingga bisa muncul masalah di negara-negara berkembang yang berisiko mengalami kekeringan.

Menurut Anika Kozlowski, pakar fesyen berkelanjutan dan asisten professor kajian Fashion Design, Ethics & Sustainability di Ryerson University, Canada, emisi karbon dari industri fesyen menyumbang 8% dari jumlah emisi gas rumah kaca. Tapi, Anika juga bilang kalau ini dapat diatasi dengan mengubah jenis bahan pakaian atau membuat kemasan baru saja. Solusinya, industri fashion harus mengubah sistem kerja mereka, termasuk kultur perusahaan.

Isu kemanusiaan juga menjadi bagian dari fast fashion, lho. Menurut Orsola de Casto, salah satu pendiri Fashion Revolution (kelompok advokasi global yang menyerukan transparansi, kesinambungan, dan etika yang lebih besar dalam industri fesyen), semua pekerja yang terlibat dalam rantai suplai mode tidak dibayar dengan upah yang adil dan cukup untuk hidup layak. Mulai dari petani kapas, pemintal, penenun, hingga pekerja garmen. Sad.

Ikuti Meghan Markle

Sejak muncul sebagai pasangan Prince Harry, sang Duchess of Sussex ini sering memakai busana yang diyakininya sesuai dengan sustainable fashion atau fashion yang berkelanjutan. Misalnya, dengan mengenakan brand Rothy yang memproduksi sepatu dari hasil daur ulang botol, sepatu merek Veja yang dibuat dari katun organik, dan pakaian bermerek Reformation yang dibuat dari material linen dengan meminimalisir emisi karbon dioksida.

Ya, memang syulit, sih, mengikuti gaya berpakaian ramah lingkungan ala anggota kerajaan. Tapi, bukan tidak mungkin. Dimulai saja dari yang paling mudah. Misalnya, menabung lebih lama supaya bisa beli pakaian berkualitas bagus dengan harga sedikit lebih mahal, sehingga tak mudah rusak dan lebih tahan lama. Atau, tidak terburu-buru membuang pakaian yang cuma rusak sedikit. Kan, bisa diperbaiki di penjahit. Kalau memang sudah enggak muat atau tak dipakai lagi, sumbangkan saja ke organisasi kemanusiaan atau panti asuhan.

Buktikan juga cinta kita pada bumi dengan memberi dukungan pada campaign DBS Bank #RecyclemoreWasteless, menuju Indonesia Bersih Sampah 2025. Klik ini aja untuk memberikan dukungan kita. Cara lainnya? Selalu usahakan pakai tas belanja sendiri yang bisa digunakan berulang kali. Cek artikel ini untuk tahu lebih jelas.