Suku Bunga, Stabilitas Rupiah dan Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia / Ekonomi / 10 Oktober 2014

Sejumlah pendapat kini mengemuka, meminta Bank Indonesia segera melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan BI rate. Desakan ini muncul, seiring dengan relatif rendahnya tingkat inflasi. Penurunan suku bunga dipandang penting untuk mengejar momentum pertumbuhan ekonomi.

Menghadapi tuntutan itu, BI tampaknya akan tetap memilih sikap untuk tidak terburu-buru menurunkan suku bunga. “BI akan meneruskan kebijakannya dengan tetap mempertahankan BI rate di level 7,5% pada tahun ini,” demikian kesimpulan DBS Group Research dalam laporannya “Economics Market Strategy Kuartal Keempat 2014.”

Ada sejumlah alasan yang mendasari sikap BI. Salah satu yang utama, yaitu persoalan defisit neraca transaksi berjalan atau current account balance. Defisit neraca transaksi berjalan pada tahun ini diperkirakan bakal mencapai sekitar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terutama disebabkan oleh defisit neraca perdagangan di sektor minyak dan gas.

Memang ada rencana pemotongan subsidi minyak dan relatif menguatnya permintaan eksternal pada 2015, yang akan membuat defisit mengecil hingga sekitar 2,7% dari PDB. Namun, itu belum cukup.

Menurut kajian DBS, untuk jangka menengah, defisit transaksi berjalan idealnya harus turun hingga ke kisaran 2%. “Karena itu, kami memperkirakan BI tidak akan mengubah arah kebijakannya saat ini.”

Alasan lain yang membuat BI belum akan melonggarkan kebijakan moneternya, yaitu tingkat likuiditas di sistem finansial yang dipandang masih memberikan ruang gerak yang cukup bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung oleh adanya rencana peningkatan belanja pemerintah pada 2015.

Faktor lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu soal pentingnya stabilitas kurs rupiah. BI selama ini telah secara konsisten menjaga stabilitas pasar finansial. Terkait dengan ini, BI pun telah melansir sejumlah langkah untuk meningkatkan peran pasar valuta asing di dalam negeri.

Salah satunya, yaitu mendorong penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) valas oleh perusahaan domestik, termasuk BUMN. Sebab, diperkirakan sekitar 40% perusahaan domestik yang memiliki kebutuhan valas, pendapatannya tidak berbentuk mata uang dolar dan tidak melakukan lindung nilai atas utang dolarnya.

Stabilitas pasar finansial amat diperlukan guna menopang pertumbuhan PDB. Penting dicatat bahwa salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu mengalami perlambatan, yaitu melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS yang mencapai sekitar 20% sejak pertengahan 2013. Volatilitas kurs rupiah sepanjang Mei hingga Juni lalu juga berpengaruh besar terhadap perlambatan investasi.

Karena itu, di tengah situasi masih rentannya gejolak kurs rupiah dan belum terselesaikannya problem defisit transaksi berjalan, kebijakan moneter ketat tampaknya masih akan diterapkan BI.

Presiden Joko Widodo memang kemungkinan akan menaikkan harga BBM bersubsidi—penyebab utama defisit selama tiga tahun terakhir—dalam enam bulan pertama pemerintahannya. Namun, “Sebelum itu direalisasikan, sulit membayangkan BI akan meninggalkan kebijakannya saat ini,” ujar ekonom DBS Gundy Cahyadi. Baca selengkapnya disini.

Fotografer: Arief Komaludin (KATADATA)