Tiga Fokus Pemerintah Baru

Indonesia / Ekonomi / 8 September 2014

Indonesia segera memasuki babak baru. Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun terakhir akan digantikan oleh Presiden terpilih Joko Widodo pada Oktober mendatang.

Terdapat sejumlah tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru. Salah satu yang terpenting adalah mengatasi sumber penyebab defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang sudah berlangsung sejak akhir 2011 akibat merosotnya harga-harga komoditas di pasar dunia.

Pada Juni tahun lalu, angka defisit mencapai 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB)—defisit terbesar sejak 1996. Untuk mengatasi hal ini, dalam laporan DBS Group Research yang berjudul “Indonesia: The to-do List”, disebutkan bahwa pemerintah baru harus memberi perhatian khusus pada tiga faktor utama penyebab defisit transaksi berjalan.

Pertama, defisit neraca perdagangan migas yang terus terjadi. Inilah faktor utama penyebab defisit transaksi berjalan yang kian lebar. Sepanjang 2013, defisit neraca migas mencapai US$ 9,7 miliar atau sekitar 35 persen dari total defisit transaksi berjalan.

Pangkal soalnya adalah terjadinya penurunan produksi minyak mentah secara gradual dalam satu dekade terakhir. Padahal, tingkat konsumsi terus meningkat, yang membuat impor BBM terus naik. Untuk mengatasi persoalan ini, investasi baru di bidang migas amat diperlukan guna meningkatkan produksi migas di masa depan.

Kedua, subsidi minyak yang sangat besar. Dalam kurun tiga hingga lima tahun terakhir, sebesar 25% anggaran pemerintah pusat tersedot untuk keperluan ini. Secara rata-rata, subsidi BBM pun melebihi target sekitar 60% sepanjang 2011 hingga 2013.

Ironisnya, pengeluaran pembangunan, termasuk untuk infrastruktur, hanya 10%-15% dari total belanja fiskal, yang berarti hanya sekitar setengah dari alokasi dana subsidi minyak. Ini membuat ketersediaan prasarana infrastruktur masih relatif terbatas. Padahal, hal ini merupakan syarat penting untuk bisa menarik investasi asing yang semakin besar ke Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur itulah, pemotongan subsidi minyak harus dilakukan, meskipun berpotensi menuai penentangan secara politis. Sebab, dengan langkah ini, tingkat konsumsi BBM pun bisa lebih terjaga.

Ketiga, tren penurunan industri manufaktur. Perhatian perlu diberikan untuk pengembangan sektor ini, karena selama lebih dari satu dekade terakhir, perannya terus merosot, tergeser oleh sektor komoditas yang mengalami booming harga di pasar global. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB semakin besar sejak 2004, sementara peran manufaktur non-minyak justru kian merosot sejak 2001.

Meski begitu, pasar domestik Indonesia yang besar menjadi modal penting dalam pengembangan sektor manufaktur. Daya tarik ini terbukti telah membuat penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) di sektor ini telah naik dalam beberapa tahun terakhir. Dari hanya US$ 3,3 miliar (26% dari total FDI) pada 2010, tiga tahun kemudian telah mencapai US$ 15,8 miliar (55%).

Menyelesaikan ketiga persoalan tersebut, jelas bukan hal mudah bagi pemerintah baru, khususnya menyangkut dilema pengurangan subsidi minyak. Sejumlah tantangan akan muncul, antara lain akibat potensi perbedaan suara di Dewan Perwakilan Rakyat dalam memandang persoalan dan solusi kebijakan yang harus diambil pemerintah.

Meski begitu, rekam jejak kinerja Presiden dan Wakil Presiden terpilih di pemerintahan memberikan optimisme di kalangan pelaku pasar. Hal ini tercermin pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia yang menembus level 5.000 dan berlanjut hingga saat ini.

“Kemungkinan, ini disebabkan oleh track record Joko Widodo sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang dipersepsikan sebagai sosok reformis,” ujar Gundy Cahyadi, ekonom DBS. Baca selengkapnya disini

Fotografer: Arief Kamaludin (KATADATA).