Tiket Anda
Not Interested

Mengapa Konsep ‘Always Think Positive’ Harus Dilupakan Dari Sekarang

6 Mei 2019
#LiveWell

Photo by Ian Espinosa on Unsplash

“Good vibes only!”

“Look at the bright side!”

“Selalu bersyukur karena masih ada orang yang tidak seberuntung kita.”

Tiga kalimat di atas sering jadi nasihat dari teman atau pembicara motivasi di saat kita sedang menghadapi kesulitan.  Banyak orang yang terpicu berkat pencerahan di atas. Tapi banyak juga yang malahan merasa makin down atau frustasi. Secara esensi ketiga mantra yang bernuansa toxic positivity tadi gagal mengenali bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks dengan aneka ragam emosi.  Sedih, senang, mati rasa, pengin menimpuk orang, gemas dan masih banyak lagi.

Ada riset menarik yang dilakukan University of California, Berkeley akhir tahun 2018 lalu terhadap 1300 orang dewasa. Penelitian yang dimuat di Journal of Personality and Social Psychology ini menunjukkan bahwa responden yang menerima emosi negatif yang muncul dalam dirinya akan lebih mudah mengatasi stres. Sebaliknya responden yang terburu-buru berusaha mengubah emosi negatif yang dirasakan dengan emosi yang lebih positif, justru lebih rapuh secara kesehatan mental.

Brock Bastian, psikolog sosial dari University of Melbourne School of Psychological Science mengatakan kepada TIME, “Ketika seseorang menekan dirinya atau merasakan tekanan dari luar, untuk selalu merasa bahagia, maka mereka akan menganggap emosi negatif sebagai tanda kegagalan. Ini akan mendorong mereka menjadi semakin tidak bahagia.”

Sebagai manusia, pengalaman kita justru semakin kaya bila mampu mengenali dan merasakan emosi yang muncul. Kita boleh tidak selalu berpikir positif.  Kita bisa mengasihani diri sendiri karena gagal mencapai sesuatu. Kita berhak menangis karena frustasi.

Singkat kata, all vibes are welcome. Biarkan diri kita menerima emosi yang sedang membuncah.  Ini bukan berarti kita jadi kehilangan kontrol. Ini tentang mengenali emosi yang muncul, menerimanya sebagai bagian dari diri kita dan mengerti bahwa perasaan negatif ini akan berlalu. Inilah yang disebut emotional acceptance, bukan emotional avoidance. 

Ada empat trik yang bisa membantu kita lebih ikhlas menerima luapan emosi  yang muncul:

1. Kenali perasaan yang muncul dengan rasa kasih sayang

Noahm Shpancer, Ph.D pada Psychology Today memberikan analogi yang sangat relevan. Ini seperti perenang yang panik karena terbawa arus ke tengah laut. Biasanya muncul rasa takut tenggelam dan buru-buru melawan arus sekuat tenaga menuju daratan. Efeknya mereka kelelahan dan malah tenggelam. Perenang justru selamat ketika membiarkan arus membawanya pergi. Akan ada titik arus semakin pelan, hingga membawanya ke dataran. Begitu pula dengan emosi negatif yang sedang menggelora. Mati-matian dilawan malah berpotensi membawa bahaya. Lebih baik menerima emosi tersebut, membiarkannya lepas sejenak hingga akhirnya menghilang dan kita bisa melanjutkan kehidupan. 

2. Bagian dari proses

Apapun emosi yang sedang kita rasakan, berusahalah menerima dan tetap mencintai diri ini. Coba untuk mengingat mantra dari Kristin Neff, Ph.D, pengarang buku Self-Compassion, “Ini adalah momen penderitaan. Menjalani penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Semoga aku tetap menghargai diriku di saat seperti ini. Semoga aku tetap melimpahi diriku dengan kasih sayang yang kubutukan.”

3. Bersikap otentik

Merasakan emosi negatif juga bukan berarti bersikap menyebalkan kepada orang lain.  Temukan keseimbangan antara berusaha tetap bersikap baik, tapi juga tidak mengingkari perasaan kita. Contoh, kita letih dengan perilaku atasan yang senang mengontrol hal-hal kecil.  Lakukan tindakan asertif dengan berkata jujur kepada atasan, “Pak, saya menghargai usaha bapak untuk menyempurnakan hasil kerja tim. Oleh karena itu setiap hari sebelum pulang kantor saya akan memberikan laporan pekerjaan yang sudah diselesaikan. Jadi bapak tidak perlu mengecek berkali-kali dalam sehari. Semoga dengan strategi ini pekerjaan akan semakin lancar.”

4. Kita tidak sendirian

Kebahagiaan yang dipamerkan di media sosial kerap hanyalah sebatas di permukaan. Semua orang dijamin pasti pernah merasakan ketidakbahagiaan. Kemungkinan besar hal-hal negatif ini tidak akan ditunjukkan kepada publik atau memang disangkal oleh yang bersangkutan. Ahli psikoterapi, Tori Rodriguez dalam essaynya di tahun 2013 untuk Scientific American menuliskan bahwa ada peningkatan jumlah pasien yang merasa malu atau bersalah saat merasakan emosi negatif. Ia menyimpulkan masyarakat terobsesi pada optimisme. Rodriguez menyarankan pasiennya untuk menganggap emosi negatif seperti awan yang berarak. Lama kelamaan akan menghilang terbawa angin. Ini bisa dilakukan melalui menulis jurnal tentang perasaan tersebut atau curhat ke orang lain atau psikolog. 

Lain kali kita mulai merasa stres, jangan memecut diri sendiri dengan berkata, “Enggak boleh panik! Enggak boleh cemas!” Ganti dengan, “Aku sedang cemas dan itu enggak apa-apa. Perasaan ini nanti juga berlalu.” Pada dasarnya kita hanya manusia biasa. Manusia yang butuh hiburan untuk melepaskan stres. Hiburan tersebut bisa berbentuk memanjakan diri dengan makan pizza yang enak. Beli pizza di Pizza Marzano dengan kartu kredit digibank dapat bonus makanan gratis tiap Senin!  Untuk hari lain kita bisa mendapatkan diskon 25%. Syaratnya minimal transaksi Rp 250.000. Nikmati stres yang perlahan hilang di setiap gigitan pizza.