Tiket Anda
Not Interested

Ridzki Noviansyah Tentang Ruang dan 'Hantu' dalam PechaKucha Night Jakarta

17 April 2018
#LiveAwesome

Pernah merasa bosan mendengarkan presentasi bisnis atau presentasi rekan sekantor yang berlarut-larut? Kalau pernah, mungkin sudah saatnya kamu menghadiri PechaKucha: sebuah acara networking dengan format presentasi 20x20 yang unik, singkat, dan padat.

Bagaimana tidak?

Setiap pembicara hanya boleh menampilkan 20 slides berisi gambar (bukan teks!), dan tiap slide hanya boleh dipresentasikan selama 20 detik! Ini berarti, setiap presentasi hanya berlangsung selama 6 menit dan 40 detik!

Nah, perkenalkan. Ini Ridzki Noviansyah, Project Officer untuk PechaKucha Night Jakarta.

Bagi lelaki yang bekerja sebagai konsultan komunikasi ini, memutar otak untuk membuat malam PechaKucha tetap relevan dan menarik setelah 32 kali diadakan di Jakarta merupakan keasyikan sekaligus tantangan tersendiri.

“Saat ini, attention span seseorang semakin pendek. Ini membuat kita sebentar-sebentar mudah terdistraksi. Karenanya, event seperti PechaKucha jadi relevan. Kita bisa mendapatkan ide dan gambaran singkat tentang sesuatu dalam waktu cepat dan singkat,” ujar Ridzki.

Malam PechaKucha pertama kali digagas Astrid Klein dan Mark Dytham dari sebuah biro arsitektur yang berbasis di Tokyo—dan lekas mendapatkan perhatian dari komunitas kreatif di seluruh dunia. Untuk menggelar malam PechaKucha resmi di kotamu, kamu perlu mendapatkan ijin dan lisensi dari tim PechaKucha Global. Saat ini perusahaan tempat Ridzki bekerja, Maverick Indonesia adalah pemegang lisensi untuk PechaKucha Night Jakarta sejak tahun 2010.

Selain Jakarta, salah satu kota yang telah mendapatkan lisensi untuk menggelar malam PechaKucha resmi adalah kota kreatif Bandung. Ridzki sendiri ternyata pernah menjadi pembicara dalam PechaKucha Night Bandung—tetapi yang paling mengesankan untuknya adalah tempat malam PechaKucha itu digelar. “Acaranya di Dago Pakar, dan venue-nya berupa amphitheater. Slide-nya ditembakkan ke arah tebing. Di tebing ada pohon-pohon tempat layar diikatkan. Menyenangkan aja berada di luar ruangan, di tempat yang sejuk,” kata Ridzki.

Bicara Soal Ruang dalam PechaKucha

Diam-diam, ada satu topik yang ingin dibawa Ridzki ke dalam PechaKucha Night Jakarta. “Tentang ruang. Terutama ruang publik. Saya ingin malam PechaKucha yang bicara tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan ruang.”

Topik ini terkait dengan ketertarikan Ridzki memotret ruang publik di Jakarta. Terkadang, ini menghadirkan kejutan menyenangkan: seperti perkenalannya dengan pemain saksofon bernama Lucky yang biasa manggung di jembatan penyeberangan Dukuh Atas, atau bagaimana speaker di Monas akan memutar lagu dangdut kontemporer setiap akhir pekan.

“Kadang hal seperti ini terlewat oleh kita karena kita memilih kenyamanan, misal dengan naik mobil atau taksi ke mall atau kafe, sehingga kita tak terhubung dengan ruang publik,” ujar Ridzki, yang mendapatkan gelar sarjananya dalam bidang Medical Bioscience dari Universitas Monash di Malaysia.

Sayangnya, ide menggelar malam PechaKucha tentang Ruang ini belum sempat tersalurkan. “Padahal, pembicaranya bisa macam-macam: filsuf, fotografer, arsitek, anak-anak astronomi. Tapi selalu dibilang terlalu abstrak dan sulit dimengerti,” Ridzki tertawa. “Makanya, selalu ditolak walau setiap kali selalu saya ajukan lagi.”

Merancang Malam PechaKucha yang Tidak Membosankan

Bahkan setelah menghadiri malam PechaKucha Night Jakarta berkali-kali tanpa tema Ruang-nya terealisasi, Ridzki mengaku belum juga bosan dengan format 20x20-nya yang unik itu. Berkat formatnya yang cepat, topik presentasi yang menyenangkan, serta pembicara dengan latar belakang profesi dan ketertarikan yang berbeda, malam PechaKucha buatnya selalu menghadirkan kejutan-kejutan baru dengan suasana cair.

Untuk Ridzki, yang paling berarti adalah koneksi yang terbentuk dari malam PechaKucha dan berdampak bahkan setelah event PechaKucha-nya berakhir. “Misalnya, ada yang menerapkan teknik Pecha Kucha untuk presentasi di kantor, lalu bagaimana kita kolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajarkan teknik presentasi ini, lalu kolaborasi antar pembicara Pecha Kucha—misalnya tentang konten video antara Fathia Izzati dengan TB Putra, juga tema seniman yang dihadiri oleh Kendra Ahimsa dan mendorong Xandega untuk berani menjadi pembicara pada tema musik.”

Sebagai PechaKucha Night Jakarta Organizer, Ridzki dan tim-nya bertugas memilih pembicara dan topik yang akan dihadirkan dalam malam PechaKucha. Biasanya, ia mulai dengan melihat tren apa yang sedang hangat di masyarakat maupun di media sosial. Dari sinilah ia mulai mengerucutkan topik-topik mana yang akan digunakan dalam PechaKucha berikutnya. “Misalnya, tahun lalu kita lihat orang-orang sedang bahas soal konten, jadi kita naik membawa konten soal foto, video, seni, musik, dan semacamnya.”

Untuk pembicaranya sendiri, Ridzki mengaku jeli agar mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda, demi menghadirkan sudut pandang yang berbeda pula. “Untuk tema fotografi, misalnya, ada fotografer komersial, dokumenter, seni, dan macam-macam lagi. Ini yang membuat PechaKucha jadi terasa kaya,” Ridzki menambahkan.

Mengundang Tiga ‘Hantu’ ke PechaKucha Night Jakarta?

Sebenarnya, ada tiga sosok yang ingin Ridzki hadirkan dalam PechaKucha Night Jakarta. Tapi, sayangnya, ketiga sosok ini sudah meninggal dunia. Mereka adalah Gerda Taro—fotografer perang perempuan pertama di dunia, Roselin Franklin—ilmuwan penemu struktur DNA, dan Carl Sagan—astronom pencetus pale blue dot.

“Untuk Gerda Taro dan Roselin Franklin itu ingin saya undang karena kontribusi dan temuan mereka baru ‘besar’ justru setelah mereka meninggal,” kata Ridzki. “Karenanya, saya ingin dengar mereka bicara tentang ilmu dan karya mereka selanjutnya. Untuk Sagan, buat saya ia bicara melebihi batas astronomi, dan sudah beririsan dengan filosofi.”