Tiket Anda
Not Interested

Narenda Wicaksono, Founder Dicoding: Tentang Ketakutan Meninggalkan Zona Nyaman & Menghitung Rezeki

17 April 2018
#LiveSmart

Pernah terpikir meninggalkan zona nyaman dalam karir untuk pindah haluan mengerjakan hal yang diimpikan sepenuh hati? Tentu tidak mudah.

Untuk Narenda (Naren) Wicaksono, founder Dicoding—sebuah platform online yang menawarkan kelas-kelas bagi para pembuat aplikasi—keputusan ini membuatnya perlu melepaskan masa depan karir yang gemilang sebagai Business Development Manager di salah satu perusahaan teknologi terkemuka, Microsoft Indonesia.

ZONA NYAMAN: HAL PALING BERBAHAYA DALAM KARIR

“Pertimbangan utama saya adalah karena comfort zone adalah hal paling berbahaya dalam karir. Dan lagi, pada saat itu karir saya sudah mentok, karena secara usia, saya masih terbilang terlalu muda untuk naik ke level Direktur,” ujar Naren.

Karir Naren memang melejit cepat di Microsoft Indonesia. Pada usia 25 tahun, ia sudah menduduki posisi Technical Advisor yang memimpin tim developer di seluruh Indonesia. Ia juga pernah menjadi mentor dan mengantarkan tim Indonesia Karir Naren memang melejit cepat di Microsoft Indonesia. Pada usia 25 tahun, ia sudah menduduki posisi Technical Advisor yang memimpin tim developer di seluruh Indonesia. Ia juga pernah menjadi mentor dan mengantarkan tim Indonesia menyabet runner-up dalam Imagine Cup 2013 dan memenangkan Rural Innovation Award dalam Imagine Cup 2008—sebuah kompetisi tahunan dari Microsoft yang menantang para developer dari seluruh dunia membantu memecahkan permasalahan paling pelik dalam kehidupan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.

Dengan sederet prestasi dan pengalaman dalam karirnya yang terbilang mapan, Naren mengaku sempat ketakutan saat hendak memulai bisnisnya sendiri; meskipun keluarga—terutama istrinya—mendukung.

Dukungan ini sebenarnya justru membuat Naren kaget, karena ayah, ibu, dan mertuanya berasal dari kalangan pekerja dan PNS (pegawai negeri sipil). “Menjadi pengusaha sebenarnya sesuatu di luar pakem mereka, tapi mereka mendukung karena mereka tahu saya tak pernah main-main ketika mengambil keputusan,” ujar Naren. “Justru saya yang sempat bimbang dan ketakutan. Apakah ide bisnis saya masuk akal? Apakah saya bisa menjadi pengusaha? Bagaimana jika tidak mendapat rezeki lewat bisnis baru ini?”

Ide bisnis Naren sendiri, Dicoding, berupa sebuah platform yang dikhususkan bagi pengembang aplikasi (application developer) di Indonesia.

Kelas-kelasnya (academy) dapat diikuti secara online, dilengkapi berbagai tantangan (challenge) untuk menguji kemampuan, serta berbagai kegiatan (event) yang bisa diikuti. Setiap tantangan yang berhasil dituntaskan akan mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan hadiah yang bisa dilihat dalam katalog.

Kelas-kelas Dicoding ada yang bisa diikuti secara gratis—dan ada pula yang berbayar; sehingga terbuka kesempatan bagi siapa saja untuk belajar. Menurut Naren, siapapun bisa belajar membuat aplikasi di Dicoding: dari pelajar, mahasiswa, freelancers, sampai pengusaha. Naren percaya, kemampuan mengembangkan aplikasi akan punya peran penting di masa depan, terutama ketika bicara tentang otomatisasi.

OTOMATISASI MEMBERI KITA LEBIH BANYAK WAKTU YANG BERMAKNA

“Dulu, kita komunikasi via pos. Sekarang, bisa via email. Dulu, simpan uang harus datang ke bank. Sekarang, bisa buka rekening digibank dimana saja. Dampak otomatisasi seperti ini besar, karena kemudian kita bisa punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih bermakna sebagai manusia,” ujar Naren—yang juga mendapat penghargaan sebagai Intel Software Innovator pada 2015 lalu.

Usaha di bidang fashion, kuliner, kerajinan tangan, hingga start-up di bidang ticketing yang sangat ‘anak muda’ (seperti menyediakan tiket online bagi festival musik EDM, misalnya), bisa menjadi pilihan. Nilai plus akan diberikan bank jika kita sudah pernah menggeluti bidang usaha tersebut sebelumnya, atau punya track record kesuksesan usaha yang menjanjikan.

Meski percaya akan mimpinya, harus diakui, salah satu ketakutan Naren meninggalkan zona nyaman karirnya adalah perihal rezeki.

“Tapi sekarang tidak takut lagi,” Naren berseloroh. “Rezeki bukan masalah besarnya, tapi keberkahannya. Dan rezeki itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, kewajiban kita sebagai manusia hanyalah berusaha yang terbaik dan meluruskan niat. Jangan menghitung-hitung.”

Lelaki lulusan Institut Teknologi Bandung ini juga percaya bahwa ada cara lain memaknai rezeki selain lewat uang atau pendapatan yang diterima. Menurutnya, kemampuan menyalurkan ilmu yang bermanfaat, bisa punya waktu kerja yang fleksibel dan bisa beribadah tepat waktu juga merupakan rezeki yang tak ternilai harganya.

Lewat Dicoding, ternyata Naren juga bisa menikmati banyak keberkahan non-materiil ini.

SUPERMAN IS A GEEK.

Naren tak berkeberatan dicap sebagai geek karena bisnisnya yang berhubungan dengan pengembangan aplikasi, dan sehari-hari berhubungan serta bergaul dengan developer. Ia sendiri mengaku menganggap dirinya geek yang terinspirasi Superman—karena developer masa kini dituntut untuk bisa segalanya dan menciptakan aplikasi yang bermanfaat bagi orang banyak.

Untuk Naren sendiri, ia ingin membuat sebuah aplikasi yang bisa membantu orang-orang untuk belajar dan meningkatkan kemampuan mereka agar bisa mendapat penghidupan yang lebih baik. Ia berharap Dicoding bisa menjadi langkah awal yang baik.

“Salah satu masalah krusial di dunia, dan terutama di Indonesia, adalah sumber daya manusia yang tidak relevan dengan kebutuhan zaman dan industri. Padahal, talenta digital sangat dibutuhkan di Indonesia,” ujar Naren.

Dicoding merupakan salah satu upaya Naren memberikan standar edukasi kelas dunia, agar kelak developer Indonesia bisa mengembangkan produk-produk digital yang bukan hanya akan memecahkan masalah di Indonesia—tetapi juga bermanfaat untuk dunia.

Pindah haluan menjadi wirausaha tak lantas membuat Naren kehilangan rutinitas ‘kantor’. Sehari-hari, ia masih saja duduk di depan komputer, membuka berbagai jendela Outlook, Word, Excel, Slack, Trello, WhatsApp dan Hangout untuk bekerja dan berkomunikasi. Hanya sesekali saja ia mencuri waktu membuka media sosial pada pagi dan sore hari.