Tiket Anda
Not Interested

Melirik Conscious Shopping dan Semakin Diminatinya Produk-Produk 'Baik' di Kalangan Millennials

17 April 2018
#LiveKind

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 6 dari 10 orang responden global bersedia membayar lebih untuk produk maupun jasa yang datang dari perusahaan dengan komitmen positif terhadap kondisi sosial dan lingkungan. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya: 5 dari 10 orang.

Perusahaan-perusahaan yang berupaya keras menjadikan produknya lebih ramah lingkungan dan lebih organik juga semakin menjamur. Kemasan yang lebih mudah terurai dan bisa didaur ulang juga semakin banyak menggantikan kemasan-kemasan plastik.

Bukan itu saja, kini banyak pula produk-produk ‘baik’ yang berupaya mendorong geliat ekonomi dan inovasi dari para pengrajin kecil. Penyedia jasa wisata pun mulai beralih menuju responsible traveling demi mendukung lestarinya budaya dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Semua dilakukan sejalan dengan perkembangan minat dan pola berbelanja konsumen—terutama millennials—yang mulai peduli akan conscious shopping.

Apakah Conscious Shopping Itu?

Sebenarnya, conscious shopping merupakan respon terhadap konsumerisme dan kapitalisme--yang merayu kita lewat berbagai kegiatan pemasaran dan promosi untuk berbelanja sebanyak-banyaknya; demi memenuhi kepuasan pribadi dan merasa ‘lebih baik’.

Conscious shopping, sebaliknya, merupakan konsumsi yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kita bisa berbelanja dengan penuh kesadaran dengan menjawab tiga pertanyaan kunci berikut ini:

  1. Apakah barang ini memang benar-benar kita butuhkan, atau akan sering kita gunakan sehari-hari? (faktor kepraktisan dan kegunaan)
  2. Apakah saya mampu membeli barang ini, tanpa harus memaksakan diri? (faktor ekonomi)
  3. Apakah saya merasa telah melakukan perbuatan baik dan memberikan dampak baik dengan membeli barang ini? (faktor emosional)

Jika jawaban ketiganya adalah ‘ya’, barulah biasanya kita membeli barang tersebut dengan penuh kesadaran akan manfaat, harga, dan dampak baiknya.

Conscious shopping sejalan dengan tren hidup minimalis yang mulai merebak di kalangan millennials—ketika mereka mulai mengurangi jumlah barang-barang yang dimiliki dan memutuskan untuk tidak melulu menjadi konsumen, melainkan produsen.

Saat ini, kebanyakan millennials pun mulai mengejar kepuasan lewat berbelanja pengalaman traveling, belajar, mengikuti kursus prakarya atau membuat kerajinan, menonton konser, dll) ketimbang berbelanja barang.

Mengapa millennials tertarik akan conscious shopping?

Ada beberapa pendapat seputar hal ini.

Ada yang menyatakan bahwa millennials—dengan teknologi informasi yang memungkinkan mereka mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan dunia—memang lebih terbuka dan terekspos pada berbagai persoalan dan ketimpangan dunia.

Lewat Internet, kelaparan, eksploitasi anak, serta dampak buruk perubahan iklim—yang terjadi di belahan dunia lain, memang jadi terasa lebih dekat. Akibatnya, dengan informasi dan kedekatan ini, mereka menjadi lebih peka dalam menilai kontribusi mereka terhadap berbagai permasalahan dunia.

Ada pula yang menyatakan bahwa millennials—yang senang membanggakan pencapaiannya mereka melalui media sosial, juga ingin dilihat sebagai seorang pahlawan: Seseorang yang baik, berpengaruh, dan bisa melakukan perubahan positif.

Ini juga dipicu banyaknya selebritis dan influencers yang bergandengan tangan untuk mengampanyekan berbagai isu sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Millennials pun merasa bahwa mereka bisa berkontribusi positif terhadap perubahan positif dunia, meski hanya lewat media sosial.

Dampaknya, ketika mereka membeli barang yang bertanggung jawab atas isu sosial tertentu yang mereka pedulikan, mereka juga merasa telah ikut mengambil peran sebagai pahlawan—dengan memilih untuk menggunakan produk-produk ‘baik’. Dengan bangga, mereka pun akan menceritakan dan mengampanyekan produk-produk baik ini lewat media sosial mereka.

Tentu, tak ada yang salah dengan kedua alasan di atas—karena pada dasarnya, keduanya membuat konsumen menjadi lebih sadar dalam memilih produk dan jasa yang ‘baik’ dan punya dampak baik pula.

Semakin naiknya tren conscious shopping pun, mau tak mau, memaksa banyak perusahaan besar berlomba menyesuaikan diri dengan geliat pasar. Bahkan perusahaan waralaba burger semacam McDonalds pun kini mulai melirik konsumen vegan dan vegetarian yang semakin banyak di kalangan millennials, dengan menawarkan menu vegan dan vegetarian di gerai mereka di Kanada!

Apa saja produk-produk ‘baik’ yang semakin diminati millennials?

MAKANAN SEHAT: VEGAN, VEGETARIAN, ORGANIK, FREE-RANGE

Emisi metana dari peternakan hewan, informasi perihal animal cruelty dan penyembelihan atau pemeliharaan hewan ternak yang memprihatinkan, serta maraknya gaya hidup sehat, membuat millennials melirik gaya hidup vegetarian, dan bahkan vegan. Apalagi, untuk yang gemar daging, saat ini, sudah banyak pula ‘daging’ buatan—dari tepung, jamur, atau tahu, yang rasanya tak kalah dari daging biasa.

Sayur-sayuran dan buah-buahan tanpa pestisida dan segala macam produk organik juga semakin diminati dan semakin banyak menyesaki rak-rak supermarket.

Bagi mereka yang masih menikmati daging, free-range menjadi pilihan. Mereka memilih daging dari peternakan yang membiarkan hewan-hewan ternaknya hidup bebas berlarian dan berkeliaran di ladang, alih-alih ditempatkan di kandang sempit yang berjubel.

Dampaknya, banyak restoran dan jasa katering juga kini mulai menyediakan lebih banyak variasi hidangan vegan, vegetarian, organik, dan daging free-range untuk memenuhi permintaan pasar.

KONDISI KERJA YANG BAIK: TAK ADA BURUH ANAK, KEAMANAN DI TEMPAT KERJA, PEMBERIAN UPAH MINIMUM

Konsumen millennials juga semakin sadar akan pentingnya membeli produk-produk yang diproduksi dengan baik. Ini berarti memilih brand yang juga punya komitmen dalam memberikan kondisi kerja yang baik bagi pegawai-pegawainya. Beberapa waktu lalu, sempat beredar berita seputar salah satu brand pakaian ternama yang sekitar 8,000 pegawai pabriknya di Kamboja pingsan karena malnutrisi, kepanasan, dan jam kerja yang panjang—dengan upah di bawah upah minumum.

Untuk konsumen millennials saat ini, conscious shopping berarti mengetahui bahwa produk yang dibelinya juga diproduksi dengan cara kerja yang baik. Misalnya, tak ada buruh anak, kondisi tempat kerja yang aman dan layak, serta upah minimum bagi para pegawainya.

TERKAIT DENGAN MISI BAIK

Produk-produk tertentu yang terkait langsung dengan misi baik juga diminati. Misalnya, rangkaian produk RED—yang bekerja sama dengan berbagai brand ikonik dunia untuk mengeluarkan rangkaian produk khusus untuk mengatasi AIDS, TBC, dan malaria. Setiap kali kita membeli produk RED yang digagas vokalis U2, Bono, 50% keuntungannya akan dialokasikan ke dalam dana global untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut. Brand-brand terkenal seperti Apple, Starbucks, Coca-Cola juga produk keren seperti headphone Beats juga bekerjasama dengan RED.

Bukan hanya produknya—saat ini kemasan produk pun jadi pertimbangan untuk membeli. Para millennials yang melakukan conscious shopping semakin sadar untuk mengurangi pembelian produk dengan kemasan plastik; atau kemasan yang banyak dan berlapis. Banyak di antara mereka yang mulai membawa tote bag atau bahkan kereta dorong belanja sendiri untuk mengurangi sampah. Tengok juga Package Free Shop yang digagas Lauren Singer, seorang perempuan muda yang bertekad untuk mengurangi kontribusinya menghasilkan sampah; hingga hanya tersisa sebotol kecil sampah dalam setahun!

Beberapa gerai juga kini mulai menyediakan bungkus atau kemasan dari bahan kertas atau tas kanvas alih-alih plastik. Sedotan mulai diganti dari sedotan plastik menjadi sedotan bambu, kaca, atau aluminium, yang bisa dicuci kembali. Beberapa kedai kopi akan mendiskon harga kopi ketika kita minum kopi di tempat atau membawa termos kopi sendiri.

BUATAN LOKAL: MELESTARIKAN BUDAYA/TRADISI DAN BEKERJA DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT

Kecintaan akan produk-produk lokal yang punya misi baik juga semakin meningkat. Konsumen millennials mulai melirik produk-produk yang berakar pada budaya dan tradisi; namun dikemas secara lebih modern.

Lihat saja, misalnya, desainer Lulu Lutfi Labibi yang melestarikan kain lurik lewat karya-karya rancangannya, yang juga banyak diminati selebriti dan influencers di tanah air—bahkan di luar negeri. Atau Noesa yang bekerja dengan ‘mama-mama’ di Desa Watublapi, Indonesia Timur, untuk mengubah kain tenun mereka menjadi camera strap yang unik. Ada pula Klinik Kopi yang berkolaborasi dengan banyak petani kopi lokal, sekaligus mengadakan program donasi pohon kopi untuk menanami bukit gundul di Solok, dengan tanaman kopi.

PROMOSI DAN PEMASARAN ETIS: TOLERAN, SENSITIF GENDER DAN ISU, PEKA AKAN HAL-HAL YANG BERSIFAT DISKRIMINATIF ATAU RASIS

Semakin meningkatnya kesadaran millennials akan isu gender juga tergambar dalam kegesitan mereka merespon brand-brand dengan kegiatan promosi dan pemasaran yang tidak sensitif. Misalnya, ketika salah satu brand sabun yang selama ini dikenal ‘baik’ tersandung kasus rasisme dalam salah satu iklannya. Atau, bagaimana salah satu brand pewangi laki-laki mulai beralih dari kampanye-kampanyenya yang seksis dan mengedepankan stereotipe maskulin yang toxic--menjadi lebih inklusif.

Sebagai conscious shopper, mereka tak lagi hanya melihat sebuah produk—tapi juga etika tentang bagaimana produk tersebut dipromosikan dan dipasarkan.

Semakin maraknya conscious shopping di kalangan millennials memang menjadi perkembangan yang menggembirakan. Apalagi jika melihat bagaimana tren ini telah mendorong banyak perusahaan besar maupun kecil untuk lebih memperhatikan dampak baik di balik produk-produk mereka.

Memang, pasti selalu ada saja yang mencibir dan mengatakan bahwa sebagian millennials hanya ‘ikut-ikutan’ berbelanja secara lebih sadar. Tapi selama ikut-ikutan ini membawa dampak baik, mengapa tidak?