Tiket Anda
Not Interested

Begini Rasanya Sengaja Mematikan Koneksi Internet Selama 24 Jam Oleh: Trinzi Mulamawitri

3 Juli 2018
#LiveWell

Ada satu hal yang tiap pagi saya lakukan tapi sesungguhnya menimbulkan rasa bersalah. Tiap alarm berbunyi, saya menghela napas panjang dan mematikannya. Lalu secara otomatis, menyalakan ponsel. Membaca satu persatu notifikasi yang terlewat saat tidur. Ternyata kegiatan ini sesungguhnya berbahaya bagi emosional kita. Teori tersebut dikemukakan Tristan Harris, mantan pegawai Google bagian Design Ethicist, telah bertahun-tahun mempelajari bagaimana teknologi berusaha memanipulasi pikiran manusia.

“Ketika kita bangun tidur dan melihat berbagai notifikasi di ponsel, maka pengalaman hari tersebut dibuka dengan pemikiran, ‘Ini dia hal-hal yang kulewatkan saat aku sedang tidur,’” tulis Harris. Ini berarti ada rasa cemas ketinggalan suatu berita yang kemudian dimanfaatkan oleh teknologi untuk menguasai kita.

Di pagi hari saya tidak sabar mengecek berapa orang yang me-like foto yang di-posting kemarin. Apakah ada chat yang harus segera dibalas. Berita viral apa yang terjadi semalam. Mengecek notifikasi memang seperti memberikan energi agar kita bangkit dari tempat tidur. Tapi yang kita pikir energi, menurut Harris, sesungguhnya adalah stres yang berbentuk kecemasan.

Apa namanya kalau bukan kecemasan kalau kita jadi sering mengecek ponsel untuk memeriksa notifikasi? Ditambah ada rasa kosong bila ternyata tidak ada notifikasi sama sekali. Tidak ada yang me-like foto kita. Tidak ada yang nge-chat kita. Tidak ada email yang masuk.

Tanpa disadari hidup kita telah menjadi budak internet. Konsentrasi buyar gara-gara lebih senang mengecek internet daripada mengerjakan tugas. Bahkan harga diri pun bisa bergantung padanya.

Fakta ini membuat gengsi tersentil. No, I would not let technology control my life. Sejak itu saya pun berikrar untuk setidaknya sekali selama sebulan sengaja mematikan koneksi internet selama 24 jam. Dulu sebelum ada internet, hidup saya lancar-lancar saja, kenapa sekarang enggak bisa? I will reclaim my power! ujar saya dalam hati dengan background petir-petir menggelegar.

Saya memilih akhir pekan atau hari libur sebagai saat yang tepat mematikan koneksi internet. Kenapa? Karena kemungkinan besar saya tidak akan diganggu persoalan pekerjaan. Saya sengaja taruh status di WhatsApp bahwa tengah menjalani digital detox selama 24 jam ke depan sehingga mereka bisa langsung menghubungi saya lewat telepon atau SMS.

Bagaimana rasanya?

Jujur, awalnya aneh sekali. Digital detox mudah dilakukan bila sedang liburan. Tapi ketika berada dalam situasi normal, tantangannya jauh berbeda. Saya paling mati gaya ketika orang-orang di sekeliling asyik memandangi ponselnya. Mem-posting foto yang baru diambil atau membaca berita baru. Saya cuma bisa senyum awkward, melempar pandangan ke arah lain dan termenung.

Saya tidak bisa mengandalkan Waze untuk memberitahukan jalan mana yang lancar untuk dilewati. Ketika lupa akan suatu hal, tidak ada mbah Google sebagai Maha Pemberi Informasi. Saya tidak tahu kegiatan teman-teman karena tidak ada akses Insta Story. Ketika butuh menghubungi seseorang dengan cepat, saya harus menghabiskan pulsa dengan meneleponnya. Bahkan tangan pun rasanya mati gaya karena terbiasa meraih ponsel.

Tapi secara mengejutkan saya justru menjadi orang yang sangat tenang hari itu. Tidak ada kecemasan membalas atau menunggu pesan. Tidak ada pikiran-pikiran yang berkecamuk hasil terpaan media sosial atau kebutuhan pamer demi pencitraan. Saya merasa ada dan hadir dalam kesadaran penuh sehingga ingatan tentang hari yang terlewati lebih tajam terekam di otak. Acara mengobrol dengan teman terasa lebih bermakna. Saya jadi ingat kata-kata Kate Unsworth, CEO Kovert Designs yang pernah melakukan penelitian tentang efek digital detox. “Biasanya saat sedang digital detox, energi seseorang menjadi lebih terbuka. Mereka lebih terbuka untuk diajak berinteraksi.”

Ketika digital detox, saya berhasil menyelesaikan buku yang selama ini menumpuk di pojok kamar. Saya bisa menikmati film yang ditayangkan di TV. Latihan memasak bersama ibu. Saya bermain dengan keponakan tanpa bantuan Youtube. Saya tertidur dengan tenang. Dan lucunya dalam puncak ketenangan, saya memandang ponsel seperti benda iblis.

Kesimpulannya, I can reclaim my power over internet and smart phone. Ada perasaan bebas yang membanggakan setelah sengaja mematikan koneksi internet selama 24 jam. Saya tidak lagi merasa terbebani harus segera mengecek ponsel begitu membuka mata di pagi hari. Ini membuat saya bisa fokus membuat rencana di kepala tentang hal-hal yang harus diselesaikan hari itu, menyantap sarapan, mandi dan dandan tanpa menghabiskan waktu cek media sosial.

Saya baru mengecek ponsel ketika akan berangkat kerja. Itu pun saya batasi 5-10 menit saja karena harus segera pergi supaya tidak terlambat sampai kantor. Bisa dibilang, saya memiliki kekuatan penuh dalam memulai hari.

Teknologi menjadi sangat berguna bila kita menggunakannya secara efektif dan efisien. . I’ve learned that not having access to internet isn’t going to kill me. Memang hal paling sulit itu ketika ada chat yang harus segera dibalas, tapi itu pun bila sangat penting, mereka masih bisa menghubungi langsung, lho. Dua puluh empat jam tanpa internet? Bisa, lah!