Tiket Anda
Not Interested

4 Mitos Memaafkan Yang Harus Diwaspadai

10 Juli 2018
#LiveKind

Unbelievable. Teman baik yang sudah kita kenal puluhan tahun, belakangan menjauh. Ia enggan menerima telepon. Butuh waktu lama bahkan kadang pesan WA pun tak terbalas. Sementara dia update di IG story-nya, post foto di feed dan terlihat baik-baik saja. Apa salah kita?

Segala skenario buruk berputar di kepala. Gelembung amarah berletupan dalam batin. Kita terlilit emosi negatif yang diakibatkan kekecewaan terhadap orang yang tersayang. Tanpa disadari sel-sel dalam diri kita terkontaminasi dendam yang berwujud obsesi. Kita merasakannya saat pacar memutuskan pergi atas alasan yang mengejutkan, seperti jatuh cinta dengan orang lain. Ketika atasan memperlakukan kita semena-mena. Saat seseorang mengirim hate comments. Rekan kerja yang mencuri ide kita.

Berbagai emosi negatif tadi melelahkan dan hanya akan mengikis ketenangan serta sisi positif diri kita. Lantas bagaimana cara melepaskan diri dari rantai dendam yang membelit kita? Monmaap, satu-satunya cara adalah dengan memaafkan.

Terkadang kita begitu mudah melontarkan kata ‘maaf.’ Tapi apakah maaf yang dilontarkan betul-betul menenangkan jiwa kita? Memaafkan adalah sebuah bentuk respon yang brutal untuk menghadapi pengalaman menyakitkan. Kita dituntut melepaskan kepalan tangan, meresapi rasa sakit sekaligus mengendalikan diri untuk tidak kembali berada dalam kondisi defense.

Supaya benar-benar bisa memaafkan seseorang, ada 4 mitos yang harus diwaspadai:

1. Memaafkan berarti rekonsiliasi

Hanya karena kita memaafkan, bukan berarti harus kembali berhubungan dengan orang tersebut. Memaafkan memang strategi berdamai dengan masa lalu. Tapi manfaat utamanya untuk ketenangan jiwa kita, bukan orang lain. Karena rasa benci dan dendam itu kita yang merasakan. Orang yang kita musuhi belum tentu sadar. Seperti kata Nelson Mandela, “Resentment is like drinking poison and then hoping it will kill your enemies.” Rasa benci itu seperti minum racun dan berharap itu bisa membunuh musuh kita. Berhubung dampak utama memaafkan adalah untuk diri kita, sebenarnya tidak harus melontarkan kata maaf pada orang yang bersangkutan. Apalagi bila ada risiko berhubungan kembali dengan orang tersebut akan membahayakan kita. Cukup dengan mendoakannya dalam hati dan berkata pada diri sendiri bahwa kita memaafkannya.

2. Fake forgiveness atau pura-pura memaafkan

Terkadang dengan enteng kita berkata, ‘Maaf ya,’ kepada orang yang telah kita kecewakan. Maaf hanya menjadi lip service atau pencitraan. Maka ‘maaf’ yang dikirim pun menjadi nirfaedah. Karena seharusnya memaafkan menyembuhkan luka batin, menimbulkan ketenangan jiwa sehingga kita merasa lebih kuat dan bijak. Bukan sekadar mementingkan gengsi dan beranggapan mengirim maaf berarti sudah menang.

3. Forgive and forget

Maaf bukan berarti melupakan. Mengingat kesalahan juga bukan berarti kita tidak memaafkan. Ketika kita melupakan kesalahan, maka tidak ada hal yang bisa dipelajari sebagai modal masa depan. Kita bisa memaafkan mantan pacar yang pernah posesif, tapi manfaatkan pengalaman tersebut untuk mengevaluasi calon pacar berikutnya agar tidak lagi terjebak dalam hubungan yang beracun. Forgive and remember is actually better for us.

4. Setelah memaafkan, kita tidak akan pernah marah atau kecewa ketika mengingatnya

Sebetulnya mitos ini bisa juga berarti betul. Bayangkan kalau kita berada dalam posisi seorang ibu yang anaknya dibunuh. Apakah dengan memaafkan si pembunuh maka kita tidak akan merasa kecewa lagi? Yah betul memaafkan memang memberikan ketenangan jiwa. Tapi kadang kala proses memaafkan tidak berlangsung sekali saja. Memaafkan bisa menjadi proses yang berlangsung terus menerus menuju ikhlas.