Tasya Kamila

Self-Improvement Enthusiast and Singer.

Dari Columbia sampai PBB: it’s all about creating chances

30 April 2018  
#LiveSmart

“Success occurs when opportunity meets preparation.”

Kalau ada yang bertanya bagaimana aku bisa berada di titik hidupku saat ini—terlepas dari apakah aku tergolong orang yang sukses atau tidak menurut kalian, aku akan menjawab dengan pepatah di atas. Ya, pepatah tersebut selalu kuingat di setiap langkah yang aku buat dalam hidupku.


Untuk mencapai sebuah kesuksesan, aku percaya ada dua variabel yang harus diperhatikan; internal dan eksternal. Faktor internal, seperti yang kita semua tahu, merupakan kualitas yang kita bangun untuk diri kita sendiri. Banyak membaca, belajar dengan tekun, mengerjakan setiap tugas dengan kemampuan terbaik kita. Aku sendiri lebih memfokuskan diri pada faktor internal ini, faktor yang paling bisa kita kontrol. Meskipun begitu, di banyak sekali kasus, faktor eksternal menjadi sangat berpengaruh bagi kesuksesan kita. Pernah, kan melihat orang yang kerja keras banting tulang tapi rasanya begitu-begitu saja? Atau orang yang usahanya tampak biasa-biasa saja, tapi bisa mencapai kesuksesan yang luar biasa? Pertanyaannya satu; kok bisa?

Menurut pengalamanku, ini yang disebut faktor eksternal; perbedaannya ada di kesempatan.

Orang yang sudah kerja keras tapi begitu-begitu saja, bisa jadi dia terjebak dalam sebuah rutin yang membuat dia tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang. Sedangkan orang yang sebaliknya, hanya karena dia mendapatkan sebuah kesempatan, dia bisa bertransformasi menjadi orang hebat terlepas dari apakah dia bekerja lebih keras dari orang yang pertama, atau tidak.



Terdengar tidak adil? Sangat.

Hanya saja, lagi-lagi berdasarkan pengalamanku, ada stigma yang kurang tepat mengenai bagaimana seseorang bisa mendapatkan kesempatan. Kesempatan itu dijemput, bukan ditunggu. Diciptakan, bukan diberikan. Mungkin, dalam beberapa kasus, seseorang bisa saja tiba-tiba ketiban durian runtuh dan bisa menjadi seorang yang sukses. Rasanya hanya satu banding seribu. Kebanyakan, sebelum kesempatan itu datang dan diberikan kepada seseorang, orang tersebut memang sudah keluar dari rutinitasnya dan mencari serta berusaha menciptakan peluang.

Semua berawal dari kesadaran bahwa kesempatan itu pasti ada. Terkadang kita kekurangan informasi, sehingga kita tidak tahu bahwa ada kesempatan yang bisa kita gunakan. Atau kurang terinspirasi, sehingga tidak bisa memanfaatkan momen sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri. Kesempatan dapat tercipta ketika kita bisa memanfaatkan momen, dan dengan usaha dan kesiapan diri, akhirnya bisa sukses menghadapi kesempatan tersebut. Jadi, yang bisa kita lakukan untuk membangun kesempatan adalah pahami betul apa tujuan kita, sehingga kita bisa membangun skill dan kualitas diri, juga bisa mendapatkan informasi dan network yang tepat, yang bisa menuntun kita pada kesempatan emas.



Buatku, kuliah S1 saja belum cukup. Masih banyak hal-hal yang ingin dipelajari dan aku ingin terus berkembang. Tentunya keputusan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister bukanlah keputusan yang dibuat dalam satu malam. Keinginan untuk menempuh gelar master sudah ada sejak awal perkuliahan S1, yang kemudian dimantapkan ketika masuk semester terakhir perkuliahan. Aku menyadari bahwa terdapat opportunity cost dari keputusan saya ini, seperti tawaran pekerjaan shooting yang mungkin tidak bisa diterima selama dua tahun perkuliahan di Amerika Serikat. Namun, aku sudah memperkirakan bahwa benefit yang diperoleh, dalam jangka panjang, akan lebih besar. Untuk itu, aku benar-benar mengusahakan dan mempersiapkan diri untuk bisa diterima di kampus yang saya inginkan, yaitu di Columbia University.



Hidupku sebagai mahasiswa Columbia Univrsity tidak semudah yang terlihat dalam vlog-vlog youtube-ku dan cerita yang aku share di media. Setiap pagi aku harus bangun jam 5 untuk sholat dan belajar karena setiap kelas yang aku ikuti mengharuskan aku menguasai terlebh dahulu materinya. Dan terkadang aku skip sarapan demi fokus menguasai materi mata kuliah. Dalam School of International & Public Affair, terdapat 2 jenis kelas yaitu kelas besar dan kelas kecil. Kadang dalam kelas besar yang terisi hingga 150 mahasiswa cukup sulit monitor partisipasi dan engagement siswa di kelas, jadi aku harus ikut kelas-kelas kecil berisi 20 mahasiswa yang diwajibkan, untuk mengulang kembali materi yang dipelajari di kelas besar dimana pengajarnya adalah asisten dosen dan di kelas kecil aku harus benar-benar memperhatikan agar dapat mengerjakan tugas-tugas kuliah nantinya.

Pada awal perkuliahan, para mahasiswa diajarkan bahwa “speak-up” in class-session is important. Dan cukup sulit untuk aku speak up karena aku ragu-ragu dan harus berpikir dulu tentang tata bahasa dan apa yang akan aku tanyakan. Namun aku tau saat itu aku harus percaya diri dan berani memulainya.



Sebuah tantangan dan kebanggaan untuk bisa bertahan sebagai mahasiswa Columbia University yang hidup sendiri di salah satu kota paling dinamis di dunia yaitu New York City. Time management untuk kuliah, istirahat tugas dan socialize adalah challenge buat aku. Dalam sehari, lebih kurang aku hanya tidur 5 jam, bahkan jika terlalu banyak tugas aku hanya beristirahat 3-4 jam. Aku berada di kampus mulai jam 9 pagi hingga jam 8 malam, setelah itu untuk mengejar materi lainnya dan tugas yang begitu banyak. Namun untuk me-manage semua itu agar berjalan dengan baik, aku selalu membuat skala prioritas. Aku pun tetap bisa bersosialisasi, bisa ikut aktif dalam workshop dan kegiatan organisasi di Columbia University.



Perkuliahanku di Columbia University menuntunku ke kesempatan yang lebih besar lagi seperti belajar dari dosen-dosen hebat, mempelajari suatu isu dari berbagai perspektif, berjejaring dengan teman-teman dari mancanegara dan terlibat dalam forum-forum internasional. Kesempatan selalu ada di luar sana, namun hanya kita yang bisa menjemput kesempatan tersebut. Sejak awal aku sudah menentukan bidang dan isu apa yang aku tertarik untuk dipelajari dan terlibat di dalamnya, yaitu pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, aku banyak berjejaring dengan orang-orang yang bergerak dalam bidang tersebut.

Dari berjejaring, aku banyak mengetahui informasi mengenai kesempatan yang ada untuk bisa terlibat langsung hingga akhirnya, aku bisa bergabung dalam organisasi pemuda internasional yang berada di bawah payung PBB dan memberikan aku kesempatan untuk bisa terlibat dalam forum-forum internasional dan forum PBB.



Dari memutuskan untuk mengorbankan karir di Indonesia, aku membuka kesempatan untuk mengejar pendidikan di Amerika dengan beasiswa. Dari hidup dan mengembangkan koneksi di Amerika, aku terlibat dalam forum PBB. Dari satu kesempatan, terbuka jalan untuk ribuan kesempatan lain. Semuanya dimulai dari saat kita memutuskan untuk membuka diri, keluar dari zona nyaman dan rutinitas kita; membuat peluang demi peluang.

Terus menerus belajar dan bekerja keras untuk meningkatkan kualitas diri merupakan hal yang sangat penting. Tapi kesempatan tidak akan datang begitu saja ke pangkuan kita kecuali kita yang mengejarnya. Memaksimalkan kedua hal tersebut merupakan definisi Live Smart buatku. Live Smart, Live More!