Surya Sahetapy

Indonesian Deaf Activist, Content Creator


Bahasa Isyarat Memberi Harapan Baru

20 Juli 2018  
#LiveKind

Sejak kecil saya mengembalikan pendengaran untuk selama-lamanya kepada Tuhan. Sebelum saya menemukan jati diri sebagai Tuli, saya mengalami tekanan dalam hidup sebagai tunarungu dimana saya dididik agar bisa seperti orang normal. Beberapa waktu yang lalu, sebutan orang normal merupakan istilah dimana mereka dapat berbicara dan mendengar baik, tetapi kini masyarakat mulai mengenal "Orang Dengar". Saat menjadi tunarungu, saya harus masuk SLB/B dimana dikhususkan agar bisa berbicara seperti orang normal seperti terapi bicara, latihan baca bibir. Tidak terasa waktunya yang membutuhkan 8 tahun agar keluar dari zona nyaman agar bisa masuk sekolah "normal".

Untuk pertama kali, saya menemukan momen yang berbeda saat itu, sangat berbeda dari yang lain yaitu masuk SMP umum dimana saya satu-satu tidak bisa mendengar. Puncaknya adalah teman-teman saling berkomunikasi dengan gerakan bibir cepat dan saya tidak memahaminya. Ketika berteman dengan mereka, saya lebih selektif dalam memilih teman berdasarkan gerakan bibir yang jelas. Jika gerakan bibir mereka sulit dibaca, maka saya abaikan bahkan mengiyakan respon mereka sehingga beberapa mereka bingung dengan respon saya. Saat itu, saya menyadari bahwa saya berbeda dengan mereka karena sering sekali miskomunikasi bahkan kadang-kadang ditertawakan karena saya salah melafalkan. Oleh karena itu, setiap pulang sekolah saya menghabiskan waktu berjam-jam agar bisa melafalkan kata seperti Panji, Banci, sampai panci. Iya, secara gerakan bibir 3 kata tersebut sangat-sangat mirip.

Menjalani 3 tahun yang berat dimana saya harus tertekan agar berpura-pura menjadi menjadi bagian mereka dengan sok orang normal, tidak mau mengungkapkan kekurangan saya sebagai tunarungu. Secara tidak sadar, saya pun menjauhi teman-teman yang "sama" yaitu sama-sama tidak bisa mendengar, karena saya saat itu sedang kerjakeras agar bisa mengakses sekolah dengan menyesuaikan beberapa guru serta teman-teman yang gerakan bibir sangat beragam sehingga bisa menjadi bagian "orang normal".

Ujian pun berat akhirnya dibebankan ke saya dimana saya harus kehilangan kakakku tercinta, dia seorang Tuli dan sahabat terbaik saya karena ketika saya sedang down, dia selalu memberi semangat seperti curhat bahkan sering bepergian seperti menonton film yang ada teks Bahasa Indonesia terutama film barat. Ingin sekali menulis cerita kakakku tetapi saya tidak kuat. Bagaimanapun, berkat dukungan Tuhan, orangtua dan keluarga sehingga saya bisa lulus SMP serta menerima kepergian kakakku tercinta.



Harapan baru semakin mendekat pada diri saya ketika saya memasuki sekolah menengah atas (SMA), tetapi saya memilih Homeschooling dimana saya hanya belajar di rumah. Saat itu, saya memiliki waktu banyak untuk mencari "dunia baru". Setelah mengikuti salah satu organisasi Tuli dan Disabilitas di Jakarta, saya belajar banyak tentang Bahasa isyarat. Memang benar, saya mengakses bahasa isyarat sejak kecil karena saya memiliki kakakku Tuli tetapi saya baru belajar mengekspresikan bahasa isyarat pada saat masuk organisasi. Bertemu beberapa teman-teman Tuli yang "senior", saya pun menyimak cerita mereka bahkan belajar banyak dari mereka. Sebelumnya saya lebih suka menonton film tentang Tuli seperti "Children of a lesser God" dan TV Series "Switched at Birth". Film tersebut justru memperkenalkan tentang bahasa isyarat Amerika dan saya semakin semangat untuk mempelajari tetapi setelah bertemu teman-teman Tuli senior, maka saya bertambah semangat untuk mempertahankan eksistensi bahasa isyarat Indonesia.

Setelah memperdalami tentang pentingnya bahasa isyarat untuk teman-teman Tuli dan menyadari bahwa banyak teman-teman Tuli tertekan dengan tekanan masyarakat terutama orang tua. Oleh karena itu, beberapa teman-teman sulit mengekspresikan secara verbal. Apalagi perspektif saat itu dimana anak-anak Tuli itu tidak dapat verbal maka mereka sulit bekerja bahkan memiliki masa depan. Satu hal yang membuat saya trauma dimana orangtua itu mengajak saya untuk memperkenalkan diri dengan verbal, tidak lama kemudian seorang ibu itu menampar anaknya Tuli dan membandingkan saya dengan dia bahwa saya bisa bicara sedangkan anaknya itu malas. Setelah kejadian tersebut, itu membuat saya trauma dan masih terbayang-bayang sampai sekarang. Kemudian saya melakukan analisa dengan mencari tahu melalui bertemu dengan teman-teman Tuli yang lebih berpengalaman dan keahlian serta melakukan riset kecil melalui internet seperti buku tulisan Tuli tentang perkenalan Tuli.

Proses untuk mengenal pentingnya bahasa isyarat ternyata tidak berjalan mulus karena saya harus berdebat dengan kedua orangtua saya dan bahkan guru-guru dari SLB. Perspektif mereka menyatakan bahwa bahasa isyarat merupakan pilihan terakhir setelah verbal bahkan sistem isyarat. Itu membuat saya down dan sering menangis pada malam hari mengingatkan teman-teman Tuli yang memiliki literasi yang rendah bahkan mereka tidak memiliki kasih sayang dari keluarga seperti saya dapatkan. Saat itu, saya benar-benar bersalah kepada Tuhan karena saya hanya di rumah saja dan memikirkan semua sampai benar-benar tidak menyehatkan seperti malas makan dan sebagainya. Sempat menyerah tetapi hati saya selalu katakan tidak.

Akhirnya pada tahun 2014, saya mendapatkan kesempatan yang spesial yaitu diundang ke istana James Palace di Inggris untuk merayakan acara spesial bersama Ratu Elizabeth dan Pangeran Phillip bersama pemuda pemudi Disabilitas dari seluruh dunia. Disana saya membahas tentang bagaimana berinteraksi dengan pemerintah. Memang benar tahun dimana saya sedang memperjuangkan jati diri saya sebagai pengguna bahasa isyarat dan Tuli pun mengeluhkan tentang bagaimana bisa berkomunikasi dengan pemerintah. Selain diskusi dengan orang-orang spesial bahkan melibatkan Stephen Hawking. Saya mensyukuri itu karena setelah mendapatkan kesempatan spesial, saya diberi waktu untuk menjelajahi Inggris untuk bertemu komunitas Tuli seperti guru Tuli, dan tempat penelitian bahasa isyarat.



Setelah mendapatkan inspirasi, saya pun kembali ke Indonesia untuk melakukan perubahan. Sebelum melakukan perubahan, saya akhirnya dipilih sebagai calon instruktur bahasa isyarat di salah satu universitas ternama di Depok, Jawa Barat selama 1 bulan. Dengan kebekalan ilmu dengan bahasa isyarat, saya memberanikan diri untuk membuka Bahasa isyarat di salah satu universitas swasta di Jakarta Selatan dimana saya merupakan mahasiswa tersebut. Awalnya saya berpikir ini merupakan langkah baik untuk memperjuangkan Bahasa isyarat Indonesia sebagai bahasa Ibu. Akan tetapi, di masing-masing daerah memiliki keanekaragaman bahasa isyarat dan sangat unik.

Bagaimanapun, tahun tersebut saya merasa memperjuangkan hak-hak Tuli sangat pelan karena fokus tentang pengajaran bahasa isyarat pada 2 tempat yaitu universitas di Jakarta Selatan dan salah satu sekolah umum di Tigaraksa, Banten. Saat itu, saya bersama teman-teman Tuli melakukan sosialisasi bahasa isyarat di lapangan seperti membuka kelas bahasa isyarat gratis dengan pengajaran dasar seperti alfabet di Bundaran HI.

Kesempatan emas pun datang tetapi saya hampir menolak, karena saya ditawari untuk bermain film sebagai teman Tuli yang mengajarkan bahasa isyarat. Memang benar saya tidak tertarik sebagai aktor tetapi ibuku tetap meyakinkan saya untuk menerima demi mengangkat isu Tuli terutama bahasa isyarat. Saya akhirnya berterima kasih kepada Ibuku karena sudah meyakinkan saya untuk menerima tawaran sehingga isu bahasa isyarat semakin diangkat dan mulai populer untuk masyarakat umum.

Setelah 1 tahun untuk menguasai tentang isu bahasa isyarat tetapi saat itu saya masih mengabaikan tentang pemerintah Indonesia dan masih menganggap bahwa mereka itu cuek dan tidak peduli dengan teman-teman Disabilitas khususnya kelompok bahasa minoritas yaitu bahasa isyarat. Kemudian saya dan seorang teman perempuan Tuli membuat kertas kerja tentang kepemudaan Tuli di Indonesia pada kongres Tuli Sedunia di Turki. Tidak disangka, kertas kerja kami diterima dan akhirnya menjadi narasumber pada kongres Tuli yang melibatkan banyak negara.

Tidak hanya itu, kami mendapatkan kesempatan untuk mengikuti perkemahan Tuli sedunia untuk pemuda pemudi Tuli di Istanbul, Turki. Saat itu, saya belajar banyak sekali tentang perkemahan Tuli yang mengajarkan tentang kepemimpinan, hak-hak Tuli, advokasi bahkan politik. Disana kami menggunakan international sign untuk berinteraksi dengan mereka. Menyenangkan sekali bisa mendapatkan ilmu dari mereka bahkan saya iri sekali dengan cerita masing-masing negara asal mereka terutama akses kehidupan mereka jauh lebih ramah dibanding Indonesia. Kemudian, kami pun mempresentasikan tentang kehidupan Tuli di depan banyak orang-orang Tuli. Saya ingat betul bahwa itu merupakan momen yang tidak bisa dilupakan karena saat itu saya grogi karena belum terbiasa dengan international sign akan tetapi ini benar-benar memberi pelajaran dan kebanggaan bahwa kami sudah membawa nama negara ini, Indonesia. Tetapi saya menyadari bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dari mereka seperti akses bahasa isyarat dan teks.

 



Kemudian saya semakin yakin untuk melakukan perubahan yaitu memberanikan diri untuk sosialisasi bahasa isyarat di Indonesia serta melakukan peningkatan kesadaran dalam penggunaan kata Tuli dan Dengar sebagai istilah yang pas. Memang benar masyarakat menganggap bahwa Tuli itu merupakan istilah kasar sedangkan tunarungu merupakan istilah halus. Akan tetapi, dalam perspektif komunitas Tuli menyatakan bahwa Tuli merupakan terminologi sosial budaya dimana mereka pengguna bahasa isyarat yang memiliki identitas, budaya dan komunitas. Mereka merasa Tuli merupakan sesuatu kehidupan yang menarik dan tidak menganggap kehilangan pendengaran itu bermasalah. Bagi kami, tunarungu merupakan istilah medis dimana kehilangan pendengaran merupakan masalah sehingga harus diperbaiki supaya bisa mendengar. Isu ini tidak hanya Indonesia, tetapi juga dunia seperti Deaf (Tuli), Hard of Hearing, dan Hearing Impairment (Tunarungu). Bagaimanapun, orang yang menetapkan identitas merupakan orang yang mengalaminya.

Tertarik?

"Bahasa isyarat itu benar-benar menyelamatkanku agar sebagai bagian warga negara Indonesia"