Jenny Jusuf

Founder of @JeprutID Movement, Cinema Scriptwriter

Kerlip Kunang - Kunang Kebaikan

19 Maret 2018  
#LiveKind

Belum lama ini saya mendengar cerita tentang seseorang yang di-bully karena berpartisipasi dalam Women’s March, sebuah kegiatan yang mendapatkan dukungan dari presiden dan bertujuan mulia, yakni membela hak perempuan. Meski tak bisa dibilang terkejut dengan kabar ini - karena bullying di media sosial bukan lagi hal baru - tak pelak saya tertegun. Sepanas itukah media sosial sekarang? Hal seremeh apa pun bisa jadi sumber pertengkaran. Alasan paling tak masuk akal membuat orang beramai - ramai melempar batu. Fitnah dan kabar bohong bertebaran di mana-mana. Saya sendiri pernah menjadi sasaran.

2009 adalah tahun pertama saya menjajal Twitter. Sebelumnya, saya memiliki akun Facebook (yang masih aktif), Friendster, MySpace, dan kawan-kawannya. Waktu itu, belum banyak orang Indonesia yang memiliki akun Twitter. Lingkar pertemanan yang kecil membuat kami lekas akrab layaknya teman baik meski belum pernah berjumpa.

Dalam waktu satu - dua tahun saya mendapatkan pekerjaan baru, terlibat dalam berbagai proyek (yang salah satunya membuka jalan saya ke dunia penulisan skenario), menjalin pertemanan dengan begitu banyak orang yang namanya cuma saya baca di internet atau lihat di televisi, dan banyak lagi.

image by remotivi_DinielaPutirani

Social media changed my life in the best ways possible. It was also the best school and playground ever. I wish I could say the same thing about it now. Kini banyak orang mengeluhkan media sosial yang selalu berisi perkelahian, hoax, gosip, atau menjadi ajang pamer. Kolom komentar di akun - akun gosip dibanjiri kata - kata yang mengiris hati. Orang yang tak bersalah bisa serta merta jadi bahan makian dan bulan - bulanan hanya karena seseorang menjepret foto dirinya sembunyi - sembunyi dan mengirimkannya ke akun gosip. Si pelaku lantas bersembunyi di balik tameng, “Namanya juga seleb, harus siap dong digosipin.”

Kita lupa, figur publik juga manusia.

Tak sedikit pula yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan media sosial agar tak ‘keracunan’. Saya memilih cara - cara lain untuk membentengi diri dari limbah digital. Menggunakan fitur mute di Twitter untuk menyaring komentar - komentar yang masuk. Membersihkan akun Facebook dari ‘teman - teman’ yang tak saya kenal. Instagram pun menyediakan filter bagi komentar - komentar tak pantas.

Selama media sosial masih bisa diakses, saya akan menggunakannya dengan setia karena saya percaya ia tak perlu menjadi tempat yang gersang dan panas jika kita semua berpartisipasi menyebarkan kebaikan, bukan kebencian. Mewartakan fakta, bukan fitnah. Membagikan kebahagiaan, bukan pertengkaran. Menggunakan media sosial untuk memperlihatkan karya, bukan sekadar pamer harta.

Kita selalu bisa memilih. Selalu ada ide - ide kreatif yang layak ditelusuri, inovasi yang dapat diciptakan untuk membuat dunia yang kita tempati menjadi sedikit lebih baik - setidaknya bagi kita sendiri. Untuk alasan inilah JEPRUT dilahirkan.

INSTAGRAM.COM - JEPRUTID

Konsep yang sangat sederhana—mengirimkan foto beserta caption berisi cerita - cerita inspiratif di sekitar - membuat JEPRUT dengan mudah terhubung dengan orang - orang dari segala kalangan. Kebaikan sekecil apa pun, siapa pun pelakunya, siapa pun pengirimnya, bisa ditayangkan di JEPRUT dengan tujuan yang tak kalah sederhananya: menyebarkan kebaikan kepada sebanyak mungkin pengguna media sosial. Jika kita terhibur oleh gosip selebriti dan perkelahian orang, bukankah kabar baik dan kisah - kisah inspiratif bisa lebih menggembirakan dan menenteramkan hati? We could use a good news every now and then. We could use hope.

Saat artikel ini ditulis, JEPRUT telah memiliki 3200 pengikut (saya lebih suka menyebutnya audiens) di Instagram. Jumlah yang sama sekali tak buruk untuk dicapai dalam waktu kurang dari tiga bulan. 3200 adalah angka pengguna media sosial yang peduli. Yang menganggap berita baik penting disimak. Yang memutuskan untuk tak abai. Namun jika dibandingkan dengan akun - akun gosip beraudiens jutaan, 3200 bagaikan pendar cahaya kunang - kunang. Saya hanya berharap mereka dapat memberi setitik sinar dalam gelap.

Mari turut serta. Mari menjadi kunang - kunang. Saat makhluk lain tertidur dalam gelap, kunang - kunang meletakkan telurnya dan memberi cahaya. Mereka bahkan menerangi dunia di bawah tanah. Setia berpijar di tempat - tempat paling terpencil. Mari menjadi mata bagi kebaikan - kebaikan di sekitar kita. Laporkan setiap bentuk kebaikan - sesederhana apa pun - melalui foto dan tulisan pendek agar gaungnya tak berhenti sampai di sana. Mari menciptakan setitik cahaya.

We can’t choose our lives, but We can choose how we live. Live kind. Live more.