Harmoni Keberagaman di Pulau Merah Banyuwangi

October 17,2017

Dalam setiap perjalanan, selalu ada cerita, momen dan kesan penuh makna yang bisa diambil serta dijadikan pelajaran. Seberapa berartinya pelajaran itu tergantung dari bagaimana kita melihat sekaligus menyerapnya, untuk kemudian diaplikasikan ke hidup kita, atau dibagikan ke banyak orang.

Minggu lalu, kami merayakan hari libur di luar kota setelah 3 bulan pertama masa kehamilan saya yang cukup “tough”, dengan segala perubahan hormon, perubahan fisik, mental dan emosi yang membuat saya merasa seperti zombie bahkan berubah menjadi “wifezilla” (wife-godzilla LOL) dan mengharuskan saya memilih untuk berada di rumah. Memasuki masa kehamilan di bulan ke 4 kondisi fisik dan hormon saya akhirnya kembali normal, senang rasanya bisa beraktifitas kembali seperti sedia kala, dan suami pun lega karena mood saya akhirnya tidak lagi membuatnya ikut uring-uringan.

Di liburan kali ini Padme, anak kami yang pertama tidak ikut, karena sedang berlibur juga bersama saudara-saudara dan sepupu lainnya. Jadi kami anggap sebagai honeymoon kedua, babymoon istilahnya. Saya dan suami memilih untuk berlibur ke Pulau Merah, di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelumnya kami berkunjung ke rumah mertua sekaligus wisata kuliner di Malang, lalu kami memutuskan untuk memulai perjalanan dari sana dengan mengendarai mobil selama kurang lebih 10 jam. Cukup lama karena saya sedikit-sedikit minta berhenti di toilet umum untuk buang air kecil dan sedikit meregangkan badan.

Kami sampai di penginapan sekitar pukul 16.00 sore. Tidak sulit menemukan lokasi pantai Pulau Merah karena jalannya mudah, tertera di GPS dan sudah ada penanda sebagai panduan perjalanan kami.

*Salah satu pemandangan yang kami lewati selama perjalanan menuju kota Banyuwangi

 

*Sampai di Red Island Surf Camp, penginapan kami selama 3 hari

Pulau Merah. Disebut demikian karena tidak jauh dari pantai, terdapat bukit kecil dengan tanahnya yang berwarna merah, ini bisa dilihat dari tengah pantai dengan menaiki kapal nelayan atau berjalan kaki saat air laut sedang surut.

Pantai ini bersih sekali. Pengelola pantai mengajak warga setempat bekerja sama untuk membersihkan pantai dari sampah yang dibuang sembarangan oleh beberapa pengunjung, sambil terus melakukan himbauan kepada para pengunjung berikutnya untuk tidak melakukan hal yang sama, yaitu membuang sampah sembarangan di pantai dan lautnya. Pulau merah juga menjadi salah satu destinasi favorit para peselancar, karena ombaknya yang tidak terlalu tinggi, banyak yang memilih pantai ini untuk belajar berselancar. Suami saya tidak akan menyia-nyiakan waktunya, begitu kami sampai di pantai Pulau Merah, ia langsung membawa papan selancarnya dan meluncur ke laut. Saya? Istirahat dulu di pinggir pantai sambil tetap mengunyah cemilan. Hidup bumil!

Kami selalu menyempatkan waktu untuk berbaur dengan warga setempat, atau eksplorasi sampai ke sudut daerah di setiap perjalanan. Harus ada misi kebudayaan juga, bagi kami ini penting. Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keberagaman dan tidak akan bisa lepas dari sejarah leluhur kami yang juga beragam. Bagi saya pribadi, adalah suatu kewajiban bagi kita untuk mengetahui, menghargai, menghormati dan melestarikannya, apalagi saya adalah seorang ibu, saya ingin anak-anak sebagai penerus bangsa bisa tumbuh berkembang dengan memiliki kesadaran akan alam, lingkungan, adat serta budayanya yang berbeda-beda tetapi tetap satu. 

Di sebelah penginapan kami adalah sebuah Pura. Pura Tawang Alun namanya. Saya dan suami berkunjung masuk ke dalam Pura yang ketika itu sedang diadakan sembahyang bersama di dalamnya, kami berdua masuk ke dalam dan minta ijin supaya boleh ikut berdoa. Setelah selesai, kami sempat berbincang dengan sang pemangku agama disana, Mangku Katemo namanya. Beliau menjelaskan sedikit mengenai sejarah Pura ini.

Pura Tawang Alun sudah ada sejak jaman pra-sejarah. Pada waktu tsunami besar melanda Banyuwangi, Jawa Timur di tahun 1994, hanya Pura ini yang tidak hancur.

Di belakang desa ini tampak kasat mata adalah gunung Tumpang Pitu yang berfungsi sebagai hutan lindung bagi keseimbangan ekosistem sekitarnya, dan juga terkenal karena konon di gunung ini terdapat banyak emas yang menjadikannya aset berharga bagi korporasi pertambangan. Pro kontra dari warga masih berlangsung hingga sekarang.

Sebelum kami berpamitan, bapak pemangku berkata, “Ada satu kalimat yang dikutip dari pernyataan Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, sebagai pengingat bagi kita semua… Jangan diusik dulu kekayaan alam itu kalau kita belum bisa mengelola sendiri”. Ah, pesan yang sangat kuat bagi kita semua, apalagi bagi yang selalu bilang bahwa kalian adalah seorang pecinta alam dan petualang ulung :)

*Berdoa sebelum memasuki Pura

*Pemangku memberi pemberkatan

*Berfoto bersama sesudah sembahyang

Selesai sembahyang dan ngobrol santai dengan Mangku Katemo, saya dan suami pergi makan siang, sembari duduk di pinggir pantai. Kembali kami bertemu dengan beberapa warga lain yang datang dari arah Pura, mereka terlihat seperti warga dari desa sebelah. Salah satu dari warga menceritakan bahwa mereka mengadakan acara keluarga, mengunjungi Pura-Pura yang ada di dekat laut untuk mendoakan leluhur dan para orangtua serta keluarga yang sudah meninggal dunia kepada Sang Pencipta.

Suasana di desa Pancer ini sungguh nyaman dan damai, terlebih karena apa yang sudah diterapkan oleh warga disini, yang walaupun mayoritasnya beragama Muslim, namun tetap memberi penghargaan dan penghormatan terhadap warga yang berkeyakinan lain untuk menjalankan ibadahnya.

Hidup harmonis berarti kita menerima identitas diri, sejarah bangsa serta keberagaman kita sebagai cikal bakal peradaban sebuah bangsa yang besar. Dan hal sikap menghargai, menghormati seperti inilah yang membawa kita kepada kedamaian tidak hanya di negara sendiri, tetapi hingga seluruh dunia.

3 hari sudah kami habiskan disini. Kami harus bergegas kembali ke Malang lalu ke Jakarta untuk melanjutkan aktivitas kembali, dengan semangat baru, tentunya.

Yuk, terus sebarkan kebaikan, lestarikan keberagaman dan keharmonisan yang kita miliki, ini adalah tugas kita bersama sebagai generasi penerus bangsa, untuk hidup yang lebih baik dan damai !

Sampai perjalanan penuh makna berikutnya ya.

Dominique Diyose

"

“Be original. The one with a lot of consciousness.”

SEE HISTORY