Hidup tidak cukup hanya dijalankan karena keharusan.
Jalani hidup hari demi hari, setiap harinya seolah itu adalah hari terakhir kita hidup, karena toh memang kita tidak tahu kapan waktu kita selesai.
Kalau waktu kita habis, maka katanya hidup kita akan terlintas kayak film di kepala kita.
Lalu saya berpikir, andaikan itu beneran terjadi, akan lebih banyak pertanyaan dan pernyataan di kepala saya, ”Yah andai sempat ….Yah belum bilang anu” dan seterusnya, atau “Done it all, I’m ready”?
Hidup lama dengan penyakit dan berbagai masalah, membuat berpikir bahwa memang kapan pun, nafas kita bisa selesai.
Dan dari sanalah, mulai terbersit pemikiran, bahwa hidup tidak perlu sempurna, tidak perlu wah, tidak perlu punya tabungan dengan belasan angka nol di belakangnya, tapi udah saatnya melakukan hal paling sederhana sekaligus paling sulit, yaitu hidup baik saja.
Sesederhana itu.
LIVE KIND.
Kind pada manusia, kind pada alam, kind pada hewan, pun kind pada diri kita sendiri.
Somehow, in the beginning, the idea yang sering ditempelkan di kepala kita adalah “To live kind, you have to give BIG“, tanpa sadar pemikiran seperti itu justru akhirnya membuat kita kebanyakan berpikir, dan berakhir dengan satu hasil saja, yaitu “tidak berbuat apa-apa.”
Dan 9,5 tahun lalu, saya memutuskan untuk bergerak. Sekecil apapun, semampu tangan ini bisa. Saat itu, di luar negeri ada gerakan namanya Make a wish Foundation, dan saya mengambil inspirasi dari sana. Sekedar ingin mewujudkan wishes, even the smallest wishes.
Setelah berpikir beberapa waktu, lalu dengan beberapa orang teman, kita memulai dari bangsal anak rumah sakit-rumah sakit di sekitar Jakarta saja, terutama pada anak kanker, anak tidak mampu, dan mereka yang memang hanya tinggal menunggu waktu, hari, terkadang bahkan hanya tinggal hitungan jam.
Bermodalkan uang tidak banyak, dimulailah perjalanan mengelilingi rumah sakit. And the first lesson I learned was, it doesn’t take much to make a person happy. AT ALL.
Among those years, I did the simplest wishes, and saw the biggest smiles I could ever see.
Permintaan mereka tidak besar. Sama sekali. Mungkin untuk kita hal-hal tersebut sepele, tapi it’s their wishes.
Ingin punya kaos merah.
Ingin kue ulang tahun berbentuk robot-robotan.
Ingin ngerasain naik sepeda satu kali aja.
Ingin belajar sulap.
Lucu? YES. Emotional? YES.
Sedih? PASTI, karena tidak jarang memang itu adalah wish terakhir mereka, atau saat memberikan wish itu, memang adalah terakhir kalinya kita bertemu dengan mereka.
Tapi senyuman di muka mereka saat wish kecil mereka terwujud, membuat saya malu akan those big wishes we always make to make us happy.
After being around hospitals for some years, I learned to not have any emotional attachments, karena once we are emotionally attached, maka energi kita akan habis sendiri.
Anyway, berpikir bahwa mungkin era media sosial bisa dipergunakan, saya mulai menceritakan ini semua di (waktu itu) twitter, dan tanpa disangka, kasus harapan / wish pertama dari luar kota pun masuk.
Waktu itu kalau tidak salah berasal dari sebuah kota yang adanya sekian jam dari kota Palembang, kota kecil. Hanya bisa ditempuh lewat jalan darat. Kasus ini dilaporkan melalui twitter.
Big case? Big wish?
Tidak, kalau menurut kita.
Besaar, kalau menurut mereka.
Kasusnya itu, adalah seorang ibu tidak mampu yang baru melahirkan. Dan ternyata sampai 10 hari kemudian sang bayi masih belum bisa dibawa pulang, walaupun sang ibu sudah pulang.
Ketika di cek? Karena ada hutang rumah sakit.
Ketika di tanya lebih lanjut? Ratusan juta kah? Jutaan?
No, it was just Rp 120.000,-
It’s just probably our parking money or not even our pocket money. But it was a whole life for others.
That time, I realized bahwa banyak sekali diluar sana yang membutuhkan, dan bahwa menolong tidak perlu besar, dan bahwa banyak cara menggapai mereka, salah satunya adalah melalui media sosial.
And today, di tahun ke 9,5-nya, kita sudah bersama membantu entah berapa puluh orangtua, membangun entah berapa sekolah non formal, rebuild people’s home, bahkan kita sudah membuka entah berapa sawah, lahan pekerjaan, membantu hewan terlantar dan sebagainya dari Aceh sampai Papua.
Besar? No, never!
Sampai hari ini pun kita mencoba untuk tidak meminta besar saat meminta donasi. Donasi rutin kita bisa dilakukan di angka minim Rp 20,000 atau Rp 50,000, sekadar untuk menunjukkan bahwa “Hey, It doesn’t take big to help others!”
Tergerakkah orang?
Mostly tetap tidak, karena sangat Indonesia sekali saat mereka berkata “Yah, masa cuma segitu kan gak enak ya nolongnya, nanti deh tunggu.”
But at the end of the day, it’s an option. Personal option.
Dan at the end of the day juga, pertanyaannya tidak pernah “Berapa besar kamu membantu?”
Tapi satu-satu nya pertanyaan yang ada hanyalah “Apakah kamu membantu atau tidak?”
Dan saya rasa siapapun, dimanapun, dan agama apapun, tidak pernah mengajarkan bahwa kebaikan harus dilakukan dengan besar. Tidak harus punya uang untuk melakukan kebaikan.
Pernahkah kamu terpikir untuk tersenyum?
Membantu membawakan tas orang tua?
Meninggalkan air dengan gelas bekas di pinggir jalan untuk anjing kucing terlantar?
Membuang waktu yang sangat banyakkah?
Apakah itu membutuhkan uang?
Atau sekedar membutuhkan NIAT?
Dan saat kita mengatakan TIDAK BISA , apakah itu memang tidak bisa atau TIDAK NIAT kah?
Things might look small, but the reward feels like the world to me, atau bisa to you too.
No, mungkin mereka tidak bisa memberikan hadiah besar, tapi mereka akan mengucapkan terima kasih yang paling tulus. Bukan karena kita memberi mereka barang.
Tapi umumnya mereka akan mengatakan “Makasih ya udah membantu dan mengubah hidup saya.”
And all it took was a small simple gesture of kindness.
Saya masih berjalan dan entah kapan akan terus berjalan. But if I can, means you can.
Mungkin hari ini akan jadi hari terakhir saya hidup, but I know I’m ready. No regrets.
Don’t live big. Live kind.
Be kind, as we wish other people do to us.
Live More. Live Kind.