Select Your Country

Meraih Peluang Indonesia di 2030

Krisis 2008, yang merupakan krisis finansial terbesar dalam 100 tahun terakhir, membuat tiga raksasa ekonomi dunia (G3), yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang terpuruk. Sebaliknya, Asia kian mememantapkan posisinya sebagai kekuatan baru ekonomi dunia.

Hanya dalam tempo lima tahun setelah krisis, menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), Cina yang perekonomiannya tumbuh secara fantastis telah berhasil menyamai Amerika Serikat diukur berdasarkan kesetaraan daya belinya (purchasing power parity).

Dipimpin oleh Cina, sepuluh negara di Asia (Asia-10) termasuk India, Indonesia, dan Korea Selatan, kini juga memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) yang hampir sama dengan AS, yakni sekitar US$ 16 triliun.

Asia-10 akan menciptakan permintaan baru US$1 triliun per tahun berkat pertumbuhan ekonominya yang mencapai 6,25 persen. Dalam kurun lima tahun terakhir, sebesar 72 persen permintaan baru yang tercipta disumbang oleh Cina. Adapun tiga kontributor terbesar lainnya, yakni India (12%), Indonesia (12%) dan Korea Selatan (4%).

Kalkulasi ini menempatkan Asia sebagai penggerak pertumbuhan global 2,5 kali lebih besar dari AS. Jarak antara keduanya pun akan kian lebar, seiring dengan pertumbuhan Asia. Cina yang PDB per kapitanya mencapai US$ 7.000 pada 2013 diperkirakan akan membawa Asia melompat jauh kedepan—setidaknya hingga 2039—dan akan menggantikan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Raksasa Asia diperkirakan akan menciptakan “Zona Eropa” pertamanya di peta pada 2023, lantas yang kedua pada 2031, dan ketiga pada 2038. Pada saat itu, PDB Asia akan mencapai sekitar US$ 54 triliun. Di saat bersamaan, di Asia juga akan tercipta satu “Jerman” baru setiap tiga tahun sekali dan akan menjadi semakin pendek, yaitu hanya tujuh bulan, pada 2039.

“Pergeseran gravitasi ekonomi dari Barat keTimur memang bukan hal baru, tapi kita telah mencapai tipping point,” kata David Carbon, Chief Economist DBS Bank. “Suatu titik di mana Asia tidak lagi terlalu kecil untuk dipedulikan.” (Baca riset DBS: Asian Gamechangers: A Germany Every Three Years)

 

Krisis Ekonomi dan Masa Depan

Optimisme kebangkitan ekonomi Asia itu, kini dihadapkan pada fenomena gejolak ekonomi dunia dalam beberapa bulan belakangan ini. Bahkan, muncul kekhawatiran krisis ekonomi Asia bakal kembali berulang, seperti pada 1997. Kekhawatiran ini dipicu oleh melemahnya mata uang di berbagai negara Asia dalam 14 bulan terakhir.

Cina sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia bahkan pada 11 Agustus 2015 telah melakukan devaluasi mata uangnya, Yuan. Tindakan Cina ini sempat membuat pasar uang dan bursa saham di seluruh dunia goyah. Tak terkecuali Indonesia. (Baca riset DBS: Economics Markets Strategy 4Q 2015).

Situasi ini pun memunculkan ketakutan terulangnya kembali krisis ekonomi. Mengingat, sejak 2010 sebesar 50 persen pertumbuhan total negara-negara G4, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Asia 10 (Cina, India, Indonesia, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina) disumbang oleh Cina.

Jika ditelisik lebih dalam, guncangan ekonomi dunia ini sesungguhnya bersumber dari Amerika Serikat. Ekonomi negara adidaya itu, yang sempat lunglai diterpa badai krisis finansial pada 2008, berangsur-angsur mulai pulih.

Sebagai respons atas terjadinya perbaikan ekonomi itu, the Federal Reserve atau Bank Sentral AS mulai menghembuskan rencana tapering off atau pemangkasan stimulus ekonomi (quantitative easing). Kebijakan ini akan dilakukannya melalui instrumen kenaikan suku bunga the Fed.

Sejak berhembus isu itulah, maka mata uang dolar menjadi kian menarik dan diburu para investor. Dolar berbondong-bondong “pulang kampung”. Dampaknya, mata uang di berbagai dunia terpuruk dan terus melemah terhadap dolar AS, termasuk Rupiah. (Baca: 10 Penyebab Rupiah Tumbang).

Meski begitu, DBS Group Research dalam laporan analisisnya “Economics Markets Strategy 4Q 2015” yakin, gejolak ekonomi yang terjadi tidak akan membawa Asia ke dalam krisis seperti pada 1997. Menurut DBS, fondasi ekonomi Asia kini sudah lebih kokoh. Salah satu contohnya, yaitu dalam hal pengelolaan utang yang sudah jauh lebih sehat.

Sebelum krisis terjadi, yakni sepuluh tahun terakhir hingga 1997, defisit transaksi berjalan Asia sangat besar. Penyebabnya, di masa itu, negara-negara Asia meminjam uang sangat besar, namun tidak diinvestasikan secara benar.

Kondisi ini kemudian menjadi bumerang, ketika sejumlah negara di Asia itu mulai tampak kelimpungan tidak bisa mengembalikan pinjamannya dan para kreditor berusaha beramai-ramai menarik dana mereka.

Belajar dari pengalaman pahit itu, pascakrisis 1997, negara-negara Asia mulai mengurangi utang-utang mereka. Hasilnya, selama 18 tahun terakhir, hampir semua negara di Asia mengalami surplus transaksi berjalan yang sangat besar.

Kondisi berbeda justru dialami oleh Amerika Serikat. Perbaikan ekonominya justru tidak sekuat seperti yang dibayangkan selama ini. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS rata-rata hanya 2 persen dalam tiga sampai lima tahun terakhir. Tingkat konsumsi negeri itu pun terbilang rendah. Ini tercermin pada tingkat inflasi (core PCE inflation) yang terus turun dalam 3,5 tahun terakhir.

Dengan kondisi itu, maka kalau pun the Fed menaikkan suku bunga, diperkirakan tidak akan lebih dari 0,67 persen dalam periode 16 bulan. Atas dasar itu, dampaknya terhadap memburuknya ekonomi Asia pun diprediksi tidak akan terlalu besar, mengingat arus modal keluar dari Asia akan relatif minim.

Hal lain yang penting dicatat untuk membangkitkan optimisme Asia, yakni perlambatan ekonomi Cina tidak seburuk seperti dibayangkan banyak orang. DBS menyebutkan, tingkat konsumsi (penjualan retail) di negeri itu terus naik di kisaran 12 sampai 13 persen.

Data ekspor memang terlihat menurun. Namun, itu lebih dikarenakan nilai ekspor Cina dilihat dalam mata uang dolar. Apabila ekspor Cina dinilai dengan rata-rata tiga mata uang terkuat dunia (dolar, yen dan euro), maka akan terlihat bahwa ekspor negeri itu terus tumbuh 10 persen sejak awal 2011.

Atas dasar sejumlah faktor itu, maka DBS meyakini kondisi Asia kini sudah lebih baik dibandingkan 1997 dan lebih siap menghadapi krisis. Keyakinan yang sama dilontarkan oleh mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat menjadi pembicara di Asian Insights Conference 2015 di Singapura, Yudhoyono mengatakan, ekonomi Asia akan terus tumbuh dan bersinar, meski akhir-akhir ini mengalami perlambatan.

Salah satu alasannya, total populasi Asia yang mencapai 4,4 miliar atau sama dengan 60 persen populasi dunia, merupakan modal berharga. Total PDB Asia yang kini sekitar US$18,5 triliun pun akan terus bertumbuh. Dari jumlah itu, total pupulasi di negara-negara ASEAN mencapai 600 juta, dengan total PDB US$2,4 triliun. (Baca: Asian Insights Post Conference Report – Towards Indonesia 2030 Challenges and Opportunities)

Secara lebih terperinci, SBY mengatakan, ada beberapa sebab mengapa ia memperkirakan perekonomian Asia akan terus tumbuh.

  • Memiliki sumber daya manusia yang besar dan dengan demografi penduduk berusia muda yang juga besar.
  • Asia kaya akan sumber daya alam.
  • Sebuah pasar yang tumbuh dengan kelas konsumen yang juga meningkat.
  • Tempat yang subur bagi perkembangan inovasi teknologi.
  • Keamanan di Asia relatif stabil, dengan asumsi situasi di Asia Timur dan Laut Cina Selatan bisa ditangani dengan baik.
  • Ekonomi di Asia semakin terhubung dan terintegrasi dengan baik. Hal ini terjadi di Asia Timur dan ASEAN.
  • Munculnya kesadaran terhadap perlindungan lingkungan dan berbagai langkah mulai dilakukan untuk mengurangi ancaman perubahan iklim. Ini membuat Asia menjadi yang terdepan dalam implementasi “pertumbuhan hijau” sebagai model ekonomi baru.
  • Pendapatan per kapita dan standar hidup rendah memunculkan motivasi masyarakat Asia untuk lebih ambisius.

Indonesia Menuju 2030

Seperti dialami oleh berbagai negara, Indonesia tak kebal terhadap virus krisis yang membuat perekonomian dunia lesu darah. Melemahnya rupiah terhadap US dollar terus menekan tingkat kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini sangat disayangkan, apalagi mengingat bahwa momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia telah melambat dikarenakan penurunan harga komoditas dunia di beberapa tahun terakhir.

Meski begitu, Yudhoyono yakin Indonesia akan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan Asia. Menurut SBY, Indonesia yang perkonomiannya saat ini berada di peringkat 15 dunia bahkan akan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan Asia dan membuatnya lebih kuat.

SBY memperkirakan, hingga 2030, Indonesia akan menjadi negara yang perekonomiannya tumbuh dengan cepat (emerging nation). Mengutip proyeksi yang pernah dipublikasikan oleh McKinsey, ia memperkirakan Indonesia pada 2030 akan menjadi:

  • Negara dengan perekonomian terbesar kesepuluh di dunia.
  • Rumah bagi 135 juta kelas konsumen atau kelas menengah.
  • Pasar dengan total peluang US$1,8 triliun yang tersebar di sektor jasa, pertanian, perikanan, sumber daya alam dan pendidikan.

Dengan pencapaian itu, maka Indonesia pada 2030 akan berbeda jauh dari saat ini. Salah satu yang jelas berbeda, penduduk Indonesia akan bertambah dari 255 juta saat ini menjadi 305 juta di 2030.

Ini akan memunculkan berbagai implikasi, termasuk kebutuhan-kebutuhan baru, yaitu kebutuhan akan pangan, energi dan air. Selain itu, kebutuhan akan barang konsumsi dan juga jasa akan meningkat pesat.

Implikasi lainnya adalah kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran. Pembangunan infrastruktur dilakukan tidak hanya untuk mengakomodasibertambahnya populasi, tapi juga dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Perbedaan lainnya, Indonesia secara perlahan tidak akan lagi bertumpu pada ekonomi yang mengandalkan sumber daya alam. Karena itu, investasi besar akan dibutuhkan untuk industri dan manufaktur. Dalam hal ini, SBY memperkirakan industri otomotif dan elektronik akan berkembang sangat pesat.

Perkembangan lain yang diperkirakan terjadi, disaat penetrasi internet dan digital berlanjut, akan semakin banyak masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di desa, terhubung ke dunia luar. Karena itulah, telekomunikasi dan sektor teknologi informasi akan sangat krusial di 2030. (Baca riset DBS: Sink or Swim – Business Impact of Digital Technology)

Selain digital, ada banyak lagi peluang yang akan muncul dengan tumbuhnya ekonomi Indonesia. Bertumbuhnya kelas menengah membuat kebutuhan akan jasa bakal meningkat signifikan. Ini termasuk asuransi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan jasa keuangan.

Berdasar pada beragam fenomena itulah, Indonesia diyakini memiliki masa depan cerah untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia, bahkan di dunia. Namun, untuk bisa mewujudkan itu, beberapa hambatan harus segera diatasi. Beberapa persoalan yang kerap muncul selama ini, seperti kepastian hukum, perbaikan iklim bisnis dan investasi, serta birokrasi yang efektif amat diperlukan.

Tanpa menyelesaikan persoalan mendasar itu, peluang menjadi negara dengan ekonomi besar di dunia hanya akan menjadi mimpi. Indonesia justru akan tertinggal dari negara Asia lainnya.