Select Your Country

Minyak Dunia Tidak Selamanya Murah

02/12/2015

Digital / Disruption

Photo by Katadata

Industri minyak dunia sedang penuh tantangan. Harga minyak berada di titik terendah dalam lima tahun terakhir. Sejak Juni 2014, harga minyak merosot hingga 50 persen. Bahkan pada Januari 2015, sempat turun sampai 60 persen, sebelum naik perlahan dan kini berada di kisaran US$ 40 per barel.

Penyebab utama anjloknya harga minyak adalah karena produksi dari sejumlah negara di luar Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) melonjak tajam. Ini terutama terjadi setelah Amerika Serikat (AS) berhasil memproduksi minyak serpih (shale oil) secara masif. Sementara negara-negara OPEC, yang dipimpin Arab Saudi, tidak mau menurunkan produksinya.

Harga pun sulit naik lantaran permintaan dari negara-negara maju, seperti Eropa dan Jepang berkurang. Perlambatan ekonomi telah mengakibatkan industri manufaktur di wilayah itu mengurangi konsumsi minyak. Sementara Tiongkok yang sejak 2005 menjadi salah satu konsumen minyak terbesar dunia juga diprediksi mengurangi permintaannya. Penyebabnya, Tiongkok tengah melakukan reformasi struktural untuk mengurangi peranan industri manufaktur ke sektor jasa dan konsumsi sebagai penggerak perekonomiannya.

Dengan kondisi ini, DBS Group Research menilai sulit untuk memproyeksikan harga minyak ke depan. Laporan berjudul Oil Prices, Where Will We Go From Here? menyebutkan, menyusun skenario tren harga minyak kini tak bisa hanya sekadar menghitung pasokan dan permintaan, tapi juga perlu mengukur faktor geopolitik di negara-negara produsen.

Namun, DBS yakin harga minyak tidak akan terus murah. Negara-negara OPEC, terutama yang tidak memiliki cadangan melimpah, tentu tidak ingin terus merugi. Begitu pula bagi perusahaan minyak, harga yang rendah membuat keuntungan turun sehingga harus mengurangi investasinya.

Pengurangan belanja modal tersebut memang tidak dapat diartikan bahwa produksi akan turun drastis dalam waktu dekat. Sangat mungkin proyek-proyek yang paling produktif akan dilanjutkan, seiring turunnya biaya yang disebabkan rendahnya harga minyak. Karena itu, DBS memprediksi, harga minyak akan merangkak naik ke kisaran US$ 65-75 per barel pada tahun depan. Dalam jangka menengah langkah-langkah yang dilakukan perusahaan-perusahaan minyak ini dapat mendongkrak harga minyak.

Sementara dalam jangka panjang ada kemungkinan harga kembali ke kisaran US$ 100 per barel, yakni posisi sebelum harganya anjlok tahun lalu. Namun artinya permintaan minyak bumi harus tumbuh secara signifikan dalam dua tahun ke depan. Ini bisa terjadi bila negara-negara non-OECD memanfaatkan harga minyak yang rendah pada saat ini untuk menggerakkan pertumbuhan ekonominya. Kecuali terdapat kesepakatan kuota produksi diantara para produsen, maka sulit dapat diprediksi harga minyak akan naik.

Access our full suite of global insights, visit go.dbs.com/research.

RECOMMENDED