DBS Focus Perekonomian dan Pasar Indonesia Menjelang Pemilu

Indonesia.17 May 2023
Indonesia, 17 May 2023 - Ringkasan 
  • Indonesia dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan presiden dan pemilihan umum pada Februari 2024.
  • Pencalonan resmi dan masa kampanye jatuh pada triwulan terakhir tahun ini. 
  • DBS Macro and Strategy Team melakukan kajian peristiwa untuk menganalisis kondisi perekonomian pada pemilihan umum lalu. 
  • Kajian tersebut mencakup enam variabel utama, termasuk pertumbuhan PDB, inflasi, dan arus FDI selama empat jajak pendapat terakhir. 
  • Secara umum, pertumbuhan melambat menjelang pemilu, dan pulih satu triwulan setelahnya.
  • Investasi dan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah menguat segera setelah jajak pendapat selesai. 


Pemilihan umum dijadwalkan pada 2024
 
Pemilihan umum di Indonesia dijadwalkan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota badan legislatif nasional Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta anggota badan legislatif daerah. MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Pemilihan presiden diperkirakan menarik banyak perhatian, karena petahana, Presiden Joko Widodo, sedang dalam masa jabatan kedua dan terakhirnya. Calon berikutnya harus secara resmi dicalonkan oleh partai politik atau koalisi yang memiliki 20% kursi di DPR atau 25% dari jumlah suara yang dikumpulkan pada pemilu 2019. 

Pada akhir 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa 17 partai memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif mendatang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang saat ini berkuasa adalah partai terbesar di DPR dengan ~19,3% dari total suara pada pemilu 2019. 

Di antara berbagai calon, ada tiga yang dipandang sebagai unggulan: 

  • Anies Baswedan–mantan Gubernur DKI Jakarta yang didukung oleh berbagai partai, termasuk PKS yang konservatif, Demokrat, dan NasDem (yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa saat ini) 
  • Ganjar Pranowo–Gubernur Jawa Tengah dan baru-baru ini dinobatkan sebagai calon PDI-P. Mantan presiden Megawati, ketua PDI-P, partai terbesar dan yang saat ini berkuasa di Indonesia, mengumumkan dalam konferensi pers pada bulan April bahwa PDI-P berencana mendukung Ganjar sebagai calon presiden dalam pemilu mendatang 
  • Prabowo Subianto–Menteri Pertahanan, didukung oleh partai terbesar ketiga di parlemen, yaitu Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keduanya merupakan bagian dari koalisi yang saat ini berkuasa 

Ini mungkin akan menjadi pemilihan presiden yang melibatkan tiga atau dua calon pada triwulan keempat 2023 ketika daftar calon dan partai pendukung mereka akan ditetapkan. Menurut media lokal, ada upaya membentuk “aliansi besar” guna mendukung dua calon terdepan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Meskipun belum terlihat program serta ideologi ekonominya, pengamat politik melihat Ganjar Pranowo sebagai calon yang akan melanjutkan kebijakan pemerintah saat ini, sementara Anies akan membuat perubahan atas kebijakan/peraturan ekonomi saat ini. Penunjukan masing-masing wakil presiden juga akan menjadi hal sangat menarik. 

Yang lebih penting lagi, investor akan memperhatikan arah reformasi lebih luas, termasuk UU Omnibus, dan komitmen terhadap ibu kota baru, yang ambisius, yaitu Nusantara. Rencana mewujudkan hal tersebut telah dimulai, namun kemajuan nyata membutuhkan investasi stabil dan momentum relokasi terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang, karena hal ini dipandang sebagai salah satu warisan dari pemerintah yang sedang berkuasa. 

Kajian peristiwa pra-pemilihan umum 
DBS Macro and Strategy Team menganalisis tren ekonomi dan pasar Indonesia di sekitar siklus pemilihan umum. Analisis itu didasarkan atas empat episode terakhir–2004, 2009, 2014, dan 2019–tidak termasuk 1999 mengingat gejolak signifikan dalam variabel ekonomi pada tahun tersebut akibat dampak krisis keuangan Asia. Berbeda dari pemilu sebelumnya, yang diadakan pada Juni setiap tahun, jajak pendapat mendatang dimajukan ke bulan Februari. Pada beberapa bagian berikut, DBS Macro and Strategy Team membahas dampak dari siklus jajak pendapat terhadap enam variabel - pertumbuhan PDB riil, konsumsi, inflasi, pengeluaran pemerintah, investasi asing langsung (FDI), dan kinerja mata uang. 

Pertumbuhan PDB riil dan pendorongnya 
Triwulan pemilu ditandai sebagai 'T', dengan T-1 hingga T-3 menampilkan tren hingga tiga triwulan sebelum 'T' dan T+1 hingga T+3 mencerminkan tiga triwulan setelahnya. Dengan menggunakan laju pertumbuhan (atau ukuran yang sesuai) selama rentang waktu ini di sekitar pemilihan umum sebelumnya, DBS Macro and Strategy Team menghitung garis tren secara umum.

Kecenderungan PDB riil (lihat grafik) menunjukkan bahwa pertumbuhan cenderung melambat hingga dua triwulan menjelang triwulan pemilu, kemudian stabil, sebelum kemudian menguat. Pengamatan ini didukung oleh kecenderungan umum pelaku ekonomi untuk berhati-hati menjelang siklus jajak pendapat, mengingat kemungkinan perubahan dalam agenda ekonomi dan peraturan, dan ketika hasil tidak resmi diumumkan, kegiatan akan berlanjut kembali.

Pada saat sama, DBS Macro and Strategy Team juga menghitung kecenderungan konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari setengah dari keseluruhan hasil. Yang menarik, dalam empat pemilu terakhir, konsumsi cenderung meningkat hingga triwulan sebelumnya, setelah itu cenderung stabil dengan sedikit bias penurunan.

Hal itu kemungkinan besar mencerminkan peningkatan permintaan dan pengeluaran di sekitar periode kampanye menjelang pemungutan suara, di samping pengeluaran sebelum hari raya. Ketika katalis ini berlalu, permintaan kemungkinan besar akan kembali ke jalur sebelum pemilu. Perlu juga dicatat bahwa ada faktor tidak biasa lain dan siklus bisnis pada tahun-tahun tersebut, yang juga dapat memengaruhi kecenderungan konsumsi dan pertumbuhan secara keseluruhan. Tahun 2009 berhasil mengantisipasi kecenderungan setelah krisis keuangan global, sementara 2014 menandai stabilisasi setelah Bank Sentral AS memperketat kebijakan moneternya (taper tantrum) pada 2013, yang lebih berdampak pada pasar ketimbang perekonomian.

Dengan menggunakan variabel aktivitas, DBS Macro and Strategy Team juga melacak pengeluaran pemerintah–terutama kegiatan pemerintah pusat (total pengeluaran). Itu menunjukkan (lihat grafik) bahwa pengeluaran cenderung melambat pada triwulan sebelum triwulan pemilu sebelum akhirnya meningkat. Itu berlaku untuk pengeluaran baik fiskal nominal maupun riil (disesuaikan dengan inflasi), yang mungkin mencerminkan gagasan bahwa pemerintahan baru mendatang mungkin memprioritaskan kembali alokasi pengeluaran, yang cenderung memperlambat pencairan dana menjelang pemilu. 

Inflasi dan perubahan kebijakan
Secara umum, keempat siklus terakhir menunjukkan penurunan inflasi ritel (lihat grafik) menjelang pemilu dan kemudian stabil hingga naik pada triwulan setelah pemilu. Tindakan di luar langkah administratif untuk melindungi harga domestik dari guncangan suplai atau guncangan eksogen kemungkinan besar membantu menjaga inflasi tetap terkendali. 

Jika dirinci berdasarkan atas tahun, akan jelas terlihat bahwa pergerakan komoditas saat itu juga kemungkinan besar berdampak pada kecenderungan, terutama jika kenaikan harga global yang kuat menyebabkan penyesuaian harga bahan bakar bersubsidi domestik. 

DBS Macro and Strategy Team menggunakan indeks Komoditas CRB (lihat grafik) sebagai proksi pergerakan komoditas global selama tiga dasawarsa terakhir. Kecenderungan pada 2009, misalnya, penting diamati–kenaikan harga komoditas minyak mentah dunia pada tahun sebelumnya membuat pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi dalam negeri sebesar 29% pada 2008, yang menyebabkan lonjakan inflasi dan kemudian unsur basis membuat inflasi tetap dalam kecenderungan menurun pada 2009. Sebagai perbandingan, harga komoditas turun pada 2019, membatasi tekanan harga.

Respon kebijakan moneter selama periode tersebut digerakkan oleh kombinasi manajemen inflasi, pergerakan mata uang, dan lintasan pertumbuhan yang berkembang. Sebagai contoh, Bank Indonesia menanggapi perlambatan inflasi pada 2009 dengan melonggarkan suku bunga acuan. Di sisi lain, untuk mengatasi gejolak mata uang yang ekstrim dan inflasi tinggi, BI menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 175bps selama taper tantrum 2013, mempertahankan sikap ketat hingga 2014, sebelum menaikkan suku bunga acuan pada akhir tahun untuk mengatasi tekanan harga akibat kenaikan subsidi bahan bakar minyak.

Arus FDI dan mata uang
DBS Macro and Strategy Team memetakan arus investasi asing langsung dalam kaitan dengan siklus pemilihan umum dan hasil pengamatan tersebut sangat mengejutkan. Dengan dihitung sebagai persentase PDB untuk memperhalus data yang mendasarinya, analisis menunjukkan bahwa komitmen FDI baru tergelincir ke posisi netral menjelang pemilu dan satu triwulan setelahnya (karena menunggu dan mengamati kejelasan mengenai calon yang akan maju). Itu mencerminkan kehati-hatian akan hasil pemilu dan dampaknya pada peraturan, reformasi, dan keterbukaan terhadap bisnis.

Terakhir, terkait mata uang, seperti ditunjukkan grafik di bawah ini, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah cenderung melemah (rupiah menguat) menjelang pemilu, bertengger di kisaran dan kemudian berbalik naik (rupiah melemah) setelah pemilu. Di sini, DBS Macro and Strategy Team juga memperhatikan pengaruh faktor tak umum dan faktor eksogen, yang memiliki dampak lebih langsung pada pergerakan mata uang, bukan hanya pada pemilu. 

Situasi bisa berubah 
Pertumbuhan domestik kemungkinan lebih kuat pada paruh pertama 2023, sebelum melambat pada paruh kedua karena unsur basis, pemilu di ambang mata, dan ekspor lebih lambat karena penurunan harga komoditas. Yang menggembirakan, inflasi akan terkoreksi tajam mulai Agustus/September, sehingga memberikan sedikit kelegaan pada daya beli rumah tangga.

Hingga saat ini, pasar obligasi Indonesia mulai menarik arus masuk asing bersih karena perbedaan suku bunga/pertumbuhan yang menguntungkan. Selain itu, rupiah bertahan sebagai pemain terbaik di kawasan ini sejak awal tahun.

Pada paruh kedua tahun ini, gabungan dari fakta bahwa Bank Sentral AS sedang berada dalam jeda kebijakan, rupiah stabil, inflasi terkendali, dan pasar global lebih tenang, kemungkinan memberikan kondisi umum kondusif bagi Bank Indonesia untuk beralih ke siklus pelonggaran (Indonesia: Kebijakan suku bunga akan beralih, fiskal mulai kuat) 


Tentang DBS 

DBS adalah grup jasa keuangan terkemuka di Asia, dengan kehadiran di 19 negara. DBS berkantor pusat dan terdaftar di Singapura, berada dalam tiga sumbu pertumbuhan utama Asia: Tiongkok, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Peringkat kredit "AA-" dan "Aa1" DBS termasuk yang tertinggi di dunia.

DBS dikenal dengan kepemimpinan globalnya, dinobatkan sebagai  “World’s Best Bank” oleh Global Finance, “World’s Best Bank” oleh Euromoney dan “Global Bank of the Year” by The Banker. DBS berada di garis terdepan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk membentuk masa depan perbankan dan terpilih sebagai “World’s Best Digital Bank” oleh Euromoney dan “Most Innovative in Digital Banking” di dunia oleh The Banker. Selain itu, DBS mendapatkan penghargaan “Safest Bank in Asia“ dari Global Finance selama 14 tahun berturut-turut sejak 2009 hingga 2022.

DBS menyediakan berbagai layanan lengkap untuk nasabah, UKM dan perbankan korporasi. Sebagai bank yang lahir dan dibesarkan di Asia, DBS memahami seluk-beluk berbisnis di pasar paling dinamis di kawasan itu. DBS bertekad membangun hubungan langgeng dengan nasabah serta menjadi bank dengan cara bank Asia. Melalui DBS Foundation, bank itu menciptakan dampak positif lebih dari sekadar perbankan melalui dukungan kepada wirausaha sosial: bisnis yang berfokus menyeimbangkan profit serta dampak sosial dan/atau lingkungan. DBS Foundation juga berkontribusi kepada masyarakat dalam berbagai hal, termasuk menyiapkan masyarakat dengan keterampilan bagi masa depan dan membangun ketahanan pangan. 

Dengan jaringan operasional ekstensif di Asia dan menitikberatkan pada keterlibatan dan pemberdayaan stafnya, DBS menyajikan peluang karir menarik. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.dbs.com.