Dukungan bank sentral
Defisit fiskal lebih besar dan penurunan kecil dalam pinjaman pada 2021 jika dibandingkan dengan tahun ini, mempengaruhi peran aktif bank sentral di pasar obligasi pada tahun depan. Pendanaan defisit mungkin akan berulang dalam dua tahun ke depan, ini berbeda dengan jaminan sebelumnya bahwa itu hanya terjadi sekali.Seberapa besar dukungan untuk tahun depan masih belum jelas, meskipun diharapkan lebih kecil daripada tahun ini. Mengingat dampak selanjutnya pada neraca keuangan, likuiditas, dan tekanan inflasi, langkah lain, seperti sterilisasi terhadap kelebihan likuiditas, juga bisa diperhitungkan untuk mengendalikan risiko stabilitas harga.Selain kekhawatiran bahwa peran aktif BI dalam mengatur anggaran defisit akan diperpanjang dua tahun hingga 2022, pasar juga memperhatikan usulan bagi rencana perubahan peraturan tentang otoritas BI. Rancangan undang-undang yang diajukan ke parlemen mengusulkan perubahan luas pada Undang-Undang Bank Sentral 1999, termasuk usulan membentuk dewan moneter beranggotakan lima orang, dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota terdiri atas calon lain dari pemerintah, untuk memberikan pedoman bagi kebijakan moneter. Secara bersamaan, mandat BI mungkin diperluas untuk mencakup pertumbuhan dan penyediaan lapangan pekerjaan, selain prioritas pasar keuangan dan inflasi.Rencana ini akan diawasi untuk menentukan apakah perubahan tersebut akan melemahkan kemandirian bank sentral, mengingatkan akan pengalaman sebelumnya pada tahun-tahun sebelum krisis keuangan Asia. Kebijakan mungkin condong menjadi akomodatif untuk jangka waktu lebih lama jika beberapa perubahan itu dilakukan, serta menunjukkan ketergantungan lebih besar pada monetisasi hutang.Saat catatan ini dicetak, pemerintah menyatakan tidak mendukung rekomendasi mandat BI karena pasar cenderung mencari kepastian terkait hal itu. Peraturan sektor keuangan lain mungkin akan diusahakan.
Kebijakan moneter terkendala
Inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) Indonesia pada Agustus turun menjadi 1,3% secara tahunan dari 1,5% pada bulan lalu, berada di bawah target dalam dua bulan berturut-turut. Walaupun indeks PMI-manufaktur kembali melebar pada Agustus, konsumsi tetap terhalang akibat meningkatnya kasus Covid-19 dan penguncian dalam skala berbeda-beda di berbagai provinsi di Indonesia memengaruhi pergerakan. Hal ini tercermin pada perlambatan inflasi CPI inti secara bertahap, dari 2,9% secara tahunan pada Januari 2020 menjadi 2,1% secara tahunan pada Juli.Mengingat dampak luar biasa dari kejutan permintaan negatif, kami merevisi perkiraan inflasi CPI ke 2,0% secara tahunan untuk 2020 dari 2,7%. Terkait kebijakan, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan dengan beberapa objektif. Pandangan terhadap prospek inflasi mengakibatkan penurunan suku bunga acuan BI sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4% tahun ini. Waktu penurunan juga dipengaruhi oleh stabilitas keuangan, yang terutama bertujuan mempertahankan selisih tarif menguntungkan dan kestabilan mata uang. Keadaan dalam negeri menunjang dengan total likuiditas bersih di posisi surplus karena suntikan dana bertubi-tubi untuk menjamin transmisi dalam waktu tepat.Pengamatan di kawasan menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit bank terkoreksi pada kuartal kedua, baik untuk konsumsi maupun pinjaman industri.Keadaan bisnis menantang juga meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPLs) menjadi 3,1% pada Juni jika dibandingkan dengan 2,5% pada Desember 2019. Fitch Ratings mencatat pada akhir Juni bahwa rata-rata rasio pinjaman dalam perhatian khusus, yaitu pinjaman yang mengalami keterlambatan pelunasan hingga 90 hari dan berisiko berubah menjadi Rasio Kredit Bermasalah, meningkat menjadi 6,2% pada kuartal pertama dari 4,6% pada akhir 2019. Sementara hal itu menunjukkan potensi peningkatan utang bermasalah, pelonggaran aturan tentang restrukturisasi pinjaman, misalnya pinjaman dibolehkan tetap menjadi pinjaman hingga akhir kuartal pertama 2021, memicu minat lebih luas pada restrukturisasi pinjaman, dengan usulan untuk memperpanjang jadwal restrukturisasi. Pada awal Agustus, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan bahwa pinjaman senilai Rp784,36 triliun telah direstrukturisasi.
Prospek Kebijakan
Dengan inflasi masih cenderung rendah dan kurs riil positif, masih ada ruang untuk menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut. Walaupun demikian, kami melihat tiga faktor mengapa bank sentral kemungkinan memperpanjang jeda penurunan suku bunga pada paruh kedua 2020. Pertama, kinerja rupiah buruk selama beberapa minggu terakhir, yang diakibatkan oleh kekhawatiran dalam negeri (monetisasi utang, pertumbuhan basis moneter, dan lain-lain), menyimpang dari kecenderungan positif di kawasan. Meskipun ada penurunan dalam kepemilikan pemodal asing di pasar obligasi hingga 30% dari jumlah obligasi beredar, stabilitas nilai mata uang kemungkinan tetap menjadi barometer risiko penting untuk pihak berwenang. Dengan latar belakang itu, status quo dalam suku bunga kemungkinan menjadi pilihan dengan resistensi terendah.Kedua, meski ada jeda dalam penurunan suku bunga acuan, BI kemungkinan mempertahankan sikap akomodatif dan limpahan dana yang membantu menahan suku bunga jangka pendek. Terakhir, tarif pasar semalam Indonesia telah terkoreksi lebih dalam dari kebijakan suku bunga 7D. Selain sikap lunak, operasi likuiditas bank sentral cenderung menjadi lebih berat untuk tenor tidak menguntungkan, menarik suku bunga ke batas bawah koridor kebijakan suku bunga. Dengan transmisi telah berlangsung lama terlepas dari langkah terkait kebijakan suku bunga 7D, BI mungkin enggan menggunakan seluruh amunisi kebijakan dalam jangka pendek, serta mempertahankan penyangga untuk keseimbangan eksternal, seperti, neraca pembayaran, membuat jeda dalam penurunan suku bunga acuan pada sisa tahun ini hal terbaik untuk dilakukan.Dua hal mungkin menantang ekspektasi kami -- jika pertumbuhan melemah secara tajam dibanding saat ini, pelonggaran kebijakan baru atau aliran portofolio kembali masuk menjadi keniscayaan.Dengan demikian, bauran kebijakan akan lebih condong ke kebijakan fiskal. Walaupun kami perkirakan penurunan suku bunga lebih lanjut kemungkinan tidak akan terjadi, respons kebijakan fiskal yang kuat membutuhkan sokongan dari Bank Indonesia. Hal ini yang akan terus dicermati oleh pasar secara seksama.
[END]
Tentang DBS
DBS adalah grup jasa keuangan terkemuka di Asia, dengan kehadiran di 18 pasar, berkantor pusat dan terdaftar di Singapura, DBS berada dalam tiga sumbu pertumbuhan utama Asia: Cina, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Peringkat kredit "AA-" dan "Aa1" bank DBS termasuk yang tertinggi di dunia.
Dikenal dengan kepemimpinan globalnya, DBS dinobatkan sebagai “World’s Best Bank” oleh Euromoney, “Global Bank of the Year” oleh The Banker dan “Best Bank in the World” oleh Global Finance. Bank DBS berada di garis terdepan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk membentuk masa depan perbankan, yang dipilih sebagai “World’s Best Digital Bank” oleh Euromoney. Selain itu, DBS telah mendapatkan penghargaan “Safest Bank in Asia” dari Global Finance selama sebelas tahun berturut-turut sejak 2009 hingga 2019.
DBS menyediakan berbagai layanan lengkap untuk nasabah, SME dan juga perbankan perusahaan. Sebagai bank yang lahir dan dibesarkan di Asia, DBS memahami seluk-beluk berbisnis di pasar paling dinamis di kawasan. DBS bertekad membangun hubungan langgeng dengan nasabah, dan berdampak positif terhadap masyarakat melalui dukungan perusahaan sosial dengan cara bank-bank Asia. DBS juga telah mendirikan yayasan dengan total dana senilai SGD 50 juta untuk memperkuat upaya tanggung jawab sosial perusahaan di Singapura dan di seluruh Asia.
Dengan jaringan operasional ekstensif di Asia dan menitikberatkan pada keterlibatan dan pemberdayaan stafnya, DBS menyajikan peluang karir yang menarik. Bank DBS mengakui gairah, tekad, dan semangat 29.000 karyawannya, yang mewakili lebih dari 40 kebangsaan. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.dbs.com.