Select Your Country

Peluang Indonesia di Era Revolusi Digital

Teknologi digital memunculkan revolusi bagaimana bisnis dilakukan. Perubahan ini terjadi dengan kecepatan, bentuk dan dampak yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Laporan yang dirilis oleh McKinsey memperkirakan, dibutuhkan waktu 80 tahun bagi teknologi uap untuk memberikan kontribusi lebih dari 1 persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Teknologi listrik membutuhkan waktu 40 tahun dan teknologi informasi dan komunikasi tradisional butuh waktu 20 tahun. Sedangkan era teknologi digital saat ini akan membawa dampak yang sama hanya dalam waktu 15 tahun. (Baca riset DBS: Sink or Swim – Business Impact of Digital Technology)

DBS mencatat ada tiga dampak signifikan yang dibawa oleh teknologi digital terhadap dunia bisnis:

1. Kecepatan, akses dan kesempatan lebih besar bagi konsumen

Konsumen saat ini bisa mengakses berbagai layanan jasa dalam satu platform. Aplikasi membantu konsumen untuk memilih layanan hanya dengan satu klik, bahkan ketika koneksi internet tidak terlalu bagus. Go-jek contohnya, mampu merevolusi jasa transportasi ojek. Dengan bantuan aplikasi, konsumen bisa memesan ojek untuk jasa transportasi orang, pengiriman barang sampai pemesanan makanan, hanya dengan klik tombol di aplikasi. Tidak cuma aplikasi, media sosial juga saat ini memberikan kesempatan lebih besar bagi konsumen untuk mengumpulkan, memproses informasi dan menyampaikan pendapat.

2. Cara baru melakukan business intelligence

Teknologi digital memungkinkan pelaku bisnis mendapatkan sumber informasi baru mengenai konsumen yang tidak pernah didapat sebelumnya. Informasi mendalam di dunia digital bisa digunakan untuk memprediksi perilaku, mencari target konsumen yang cocok atau bahkan bisa dijadikan dasar untuk solusi-solusi baru. Salah satu contohnya adalah perusahaan Alipay. Perusahaan pembiayaan asal Cina itu menggunakan data transaksi konsumen di e-commerce sebagai dasar pengambilan keputusan, apakah seseorang bisa mendapat pinjaman tanpa harus melihat aset yang dimilikinya. Saat ini perusahaan juga bisa membeli data melalui sumber-sumber baru, seperti media sosial.

3. Infrastruktur digital, bukan lagi fisik

Teknologi digital saat ini memungkinkan banyak perusahaan bisa lebih berhemat. Mereka tidak perlu lagi menyiapkan infrastruktur fisik. Contoh, penjual retail tidak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk membuka cabang, tapi cukup dengan membuka tokonya secara online. Harga barang bisa menjadi lebih murah, yang pada akhirnya konsumen juga yang diuntungkan.

Bagaiman Dampaknya di Asia?

DBS dalam risetnya Sink or Swim – Business Impact of Digital Technology menyimpulkan, apabila penetrasi teknologi digital sangat dalam dan penggunaannya meluas maka dampak terhadap dunia bisnis semakin dirasakan. Sebagai contoh India, di negara itu koneksi internet belum meluas. Dampaknya, belanja online di negara itu kurang dari 1 persen total penjualan retail pada 2013. Berbeda halnya dengan Cina. Dengan jumlah pengguna smartphone mencapai 260 juta, sekarang Negeri Panda ini menjadi negara yang memiliki pendapatan dari online kedua terbesar di dunia setelah Amerika. Data iResearch menyebutkan, penjualan online di Cina mencapai 8 persen dari total penjualan retail di negara itu. Diperkirakan pada 2015, penjualan melalui online akan mencapai 10 persen. Cina diperkirakan akan terus menjadi kekuatan besar dunia di bisnis online. Ini didorong dengan pertumbuhan pengguna smartphone di negeri itu. Sebagai perbandingan, Asia—tidak termasuk Jepang—akan memiliki 1 miliar pengguna smartphone pada 2015. Dari jumlah itu, pengguna di Cina mencapai lebih dari separuhnya, atau 625 juta. Salah satu perusahaan Cina yang sukses dalam penjualan retail online adalah Alibaba. CEO DBS Group Holdings Piyush Gupta dalam paparannya saat DBS Asian Insights Conference 2015 menyebutkan, saat ini Alibaba sudah menjadi salah satu dari 14 perusahaan teknologi terkemuka di dunia, seperti Google, Facebook dan Amazon. Kapitalisasi pasar 14 perusahaan itu bila digabungkan mencapai US$3 triliun. (Baca: Asian Insights Post Conference Report - Can Asia be The Source of Game Changing Innovation?)

Indonesia, RaksasaTeknologi Asia Tenggara

Media teknologi TechinAsia dalam salah satu artikelnya menyebut Indonesia sebagai “raksasa teknologi Asia Tenggara yang sedang tertidur.” (Baca: Indonesia’s support for entrepreneurship is not up to scratch. Here’s how the government can get serious). Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta lebih adalah pasar yang besar. Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia akan mencapai lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India dan Amerika.

Namun demikian, meski diperkirakan pengguna smartphone akan tumbuh pesat, data yang ada saat ini menunjukkan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain di dunia digital. Penetrasi internet di Indonesia menurut We are Social ada di kisaran 28 persen. Dengan penetrasi sebesar ini Indonesia jauh tertinggal di banding negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura (81 persen), Malaysia (66 persen), Vietnam (44 persen) dan Thailand (37 persen).

Dalam hal persentase belanja melalui online, Indonesia juga tertinggal jauh. Persentase penduduk Indonesia yang melakukan pembelian secara online baru sekitar 16 persen. Angka ini sedikit lebih baik dari India yang ada di angka 14 persen. Namun tertinggal jauh dari Singapura yang sudah mencapai angka 46 persen.

Lembaga Red Wing Asia seperti dikutip dari TechinAsia menyebutkan, kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap perkembangan start-up di Indonesia menyebabkan industri digital di dalam negeri tertinggal dari negara lainnya. Padahal dibandingkan Singapura, Indonesia memiliki keunggulan dengan jumlah penduduk yang bisa menjadi pasar sangat besar.

Langkah progresif justru dilakukan Singapura sehingga kini menjelma menjadi pusat ekosistem start-up di Asia. Singapura bisa masuk ke pasar-pasar besar Asia, seperti Cina, India dan Indonesia, juga Malaysia, Filipina serta Thailand. Salah satu keunggulan Singapura adalah akses terhadap pendanaan yang sangat besar. (Baca riset DBS: Billion Dollar Babies?)

Sejumlah perusahaan digital Singapura sudah merambah Indonesia, antara lain GrabTaxi. Perusahaan yang baru saja mendapatkan suntikan dana sebesar US$ 250 juta dari Softbank ini juga mengembangkan layanan aplikasi transportasi motor yang diberi nama GrabBike. GrabBike saat ini menjadi pesaing serius perusahaan Indonesia, Go-Jek.

Selain GrabTaxi, perusahaan digital Singapura lain yang mulai masuk ke Indonesia dan mengincar pasar yang besar adalah Paktor. Paktor menyediakan aplikasi yang memungkinkan seseorang mencari teman atau pasangan. Sebelum masuk ke Indonesia, Paktor sudah meraih kesuksesan di Taiwan, Thailand dan Vietnam.(Baca riset DBS: Beyond the Hype).

Di Indonesia sebenarnya mulai bermunculan perusahaan-perusahaan digital yang bersaing dengan perusahaan internasional berebut pasar di dalam negeri. Salah satunya adalah Go-Jek, perusahaan penyedia jasa layanan transportasi yang bekerjasama dengan ojek sepeda motor. Perusahaan ini pada Juni 2015 lalu sudah memiliki lebih dari 10 ribu pengemudi dan merambah beberapa kota, seperti Surabaya, Bali dan Bandung. Perusahaan ini mendapatkan dukungan pendanaan dari Northstar Group sebesar US$ 200 juta.

Di layanan e-commerce ada perusahaan Tokopedia. Perusahaan ini pada Oktober 2014 mendapatkan suntikan dana sebesar US$100 juta dari Softbank dan Sequoia Capital.

Meski mulai bermunculan, secara umum industri digital Indonesia masih tertinggal dari negara lainnya. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pada awal 2015 menjanjikan akan menghimpun dana US$ 1 miliar dari para pengusaha swasta untuk diinvestasikan ke start-up digital.

Langkah ini bila terwujud bisa “membangunkan” Indonesia, sehingga bisa menjadi “raksasa” teknologi Asia Tenggara atau bahkan dunia.